Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

USAHA PEMBAHARUAN DALAM HUKUM PIDANA DAN PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA


Perkembangan hukum di dalam dunia kejahatan khususnya pengaturan mengenai hukum pidana terus berkembang sesuai dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pengaturan mengenai Undang-Undang Khusus di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang dibenarkan berdasarkan Pasal 103 KUHP yang intinya menyatakan bahwa kebolehan membuat suatu ketentuan yang berbeda dari KUHP. Namun yang menjadi persoalan, yaitu banyaknya Undang Undang di luar KUHP yang tidak membedakan atau mengkualifikasi tindak pidana, apakah termasuk kejahatan ataukah termasuk pelanggaran, serta tidak mencantumkan aturan pemidanaan atau penerapannya. Tentunya hal ini berbeda dengan tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP sebagai aturan umum dalam melakukan pemidanaan.
Oleh sebab itu pembaharuan sistem pemidanaan menjadi perhatian dalam rancangan konsep KUHP baru. Pada Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP 2010 sistem pemidanaanmengalami beberapa perubahan dan konsepnya lebih disederhanakan.

Rumusan Masalah

1. Apa saja usaha pembaharuan dalam hukum pidana?
2. Bagaimana penafsiran dalam UU Pidana?

Tujuan Penulisan

1. Tujuan penulisan makalah untuk bisa memberi gambaran tentang usaha pembaharuan dalam hukum pidana!
2. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran dalam UU Pidana!

Pembahasan

Usaha Pembaharuan dalam Hukum Pidana
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali ( reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelakasanaanya penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif ( KUHP ), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana. Pembaharuan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu:
Pembuatan undang-undang yang maksudnya untuk mengubah, menambah dan melengkapi KUHP yang sekarang berlaku.

Baca juga JENIS-JENIS PIDANA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R-KUHP) yang tujuannya untuk menggantikan KUHP yang sekarang berlaku yang merupakan warisan kolonial.
Adapun alasan-alasan yang mendasari pembaharuan hukum pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu :
1. Alasan yang bersifat politik
Adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang Inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh karena itu tugas dari pembentukan Undang-Undang adalah menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Alasan yang bersifat sosiologis
Suatu KUHP adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentang apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
3. Alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit.dilain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
KUHP nasional dimasa mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan-perkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana Indonesia harus segera dilakukan. Sifat Undang-undang yang selalu tertinggal dari realitas sosial menjadi landasan dasar ide pembaharuan KUHP. KUHP yang masih berlaku saat ini merupakan produk kolonial yang diterapkan di negara jajahan untuk menciptkan ketaatan. Indonesia yang kini menjadi negara yang bebas dan merdeka hendaknya menyusun sebuah peraturan pidana baru yang sesuai dengan jiwa bangsa.

Artikel lainnya : PIDANA DAN PEMINDANAAN

Adapun upaya mencapai suatu keselarasan antara Induk (KUHP) dengan segala peraturan yang bernaung di dalamnya, guna mencapai keselarasan antara KUHP dengan Undang-Undang Khusus dalam sistem pemidanaan maka perlu adanya suatu perubahan di dalam tubuh KUHP. Dimana dalam perkembangannya yang melatar belakangi perlunya perubahan (penataan) dalam tubuh KUHP antara lain:
KUHP dianggap tidak dapat menampung berbagai masalah dan dimensi perkembangan bentuk-bentuk tindak pidana baru.

KUHP kurang sesuai dengan nilai-nilai sosio-filosofik, sosio-politik, dan sosio-kultural yang hidup dalam masyarakat.
KUHP kurang sesuai dengan perkembangan pemikiran/ide dan aspirasi tuntutan/kebutuhan masyarakat (nasional/internasional).
KUHP tidak merupakan sistem hukum pidana yang utuh, karena ada pasal-pasal/ delik yang dicabut.

Penafsiran dalam Undang-Undang Pidana

Seiring dengan perkembangan zaman, sering kali hakim sulit untuk mengidentifikasi apakah suatu kasus tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam ketentuan di dalam KUHP, misalnya karena perumusan undang-undang yang samar. Menurut Marjanne Termorshuizen, terkadang norma sosial yang terkandung dalam perumusan tindak pidana atau yang menjadi latar belakang suatu ketentuan pidana memang dibuat samar-samar atau implisit. Maksud formulasi seperti ini tidak perlu dilihat sebagai suatu kekurangan atau cacat hukum, bahkan kesamaran itu harus dianggap harus ada. Marjanne Termorshuizen selanjutnya memberikan contoh di negara Belanda. Jika di dalam formulasi tindak pidana terkandung suatu pertimbangan moral misalnya adalah ‘aanstotelijk voor de eerbaarheid’ (melanggar kesusilaan), atau pertimbangan lain seperti “gevaarlijk of hinderlijk  verkeersgedrag” (perilaku berlalulintas yang berbahaya atau sangat menggangu) seperti yang ada dalam undang-undang lalu lintas jalan di Belanda, maka unsur atau pertimbangan demikian, artinya, harus dimaknai selanjutnya oleh hakim pidana. Kesamaran atau ketidaktegasan unsur seperti di atas memang harus ada. Tujuannya adalah berkenaan dengan kasus-kasus konkrit yang terjadi di dalam praktik sehari-hari dan yang tidak dapat diduga terlebih dahulu kemunculannya oleh pembuat undang-undang.
 Atas dasar itu hakim wajib menggali arti yang tepat dari ketentuan pidana tersebut dan harus memberikan tafsir serta menjelaskan ketentuan itu, untuk menafsirkan dan menjelaskan diperlukan penafsiran hukum. Penafsiran digunakan oleh hakim untuk menentukan apakah suatu ketentuan di dalam KUHP sesuai dengan kasus yang dihadapinya. Ada beberapa jenis penafsiran dalam hukum pidana diantaranya penafsiran gramatikal, yaitu penafsiran dengan memperhatikan arti ketentuan pidana menurut ilmu bahasa. Penafsiran sejarah undang-undang, yaitu penafsiran dengan memperhatikan laporan, nota, diskusi, dan sebagainnya yang berperan dalam terjadinya ketentuan tersebut penafsiran sistematis, yaitu penafsiran dengan memperhatikan hubungan antara ketentuan tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang lain berdasarkan sistem dalam undang-undang. Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran yang memperhatikan tujuan dibentuknya suatu undang-undang. Penafsiran ekstensif atau restriktif, yaitu penafsiran dengan cara memperluas atau mempersempit ketentuan di dalam undang-undang. Penafsiran otentik, disebut juga penafsiran resmi.
Dalam berbagai perundang-undangan, legislator telah memberikan keterangan resmi mengenai beberapa istilah atau kata dalam perundang-undangan yang bersangkutan. Legislator dalam memasukkan keterangan tersebut sesuai dengan maksud dan kehendak pembentuk undang-undang. Penafsiran logis, yaitu macam penafsiran dengan cara menyelidiki untuk mencari maksud utama suatu formulasi dalam undang-undang dengan menghubungkannya dengan rumusan norma yang lain atau dengan undang-undang lain yang masih memiliki relevansi terhadap rumusan norma tersebut. Penafsiran a contrario, yaitu macam penafsiran dengan cara mempersempit berlakunya norma undang-undang, jadi bekerjanya berupa kebalikan dari cara kerja penafsiran analogi dan ekstensif.1Selain dari delapan penafsiran tersebut, terdapat suatu cara untuk menentukan suatu perbuatan yang termasuk atau bukan dalam ketentuan pidana, yaitu dengananalogi (kias). Sarjana-sarjana hukum berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya penggunaan analogi untuk menentukan tindak pidana, karena penggunaan analogi melanggar asas legalitas Pasal 1 ayat 1 KUHP tentang kepastian hukum.Maksud dari kepastian hukum adalah bahwa hukum yang dibuat lex scripta (harus tertulis), lex certa (tidak multitafsir) dan harus ditafsirkan lex stricta (secara ketat). Kata lain, secara formil sebuah ketentuan perundang-undangan haruslah dituangkan dalam bentuk tertulis secara sistematis yang dapat ditafsirkan secara ketat dan tidak multitafsir. Tetapi masalah kepastian hukum yang demikian mendapat kritik dari sarjana hukum seperti Marjanne Termorshuizen. Menurutnya norma sosial yang terkandung dalam perumusan delik atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan pidana dapat saja dibuat samar atau bahkan secara tersirat. Perumusan yang demikian tidak perlu dipandang sebagai suatu kekurangan, bahkan kesamaran itu harus dianggap perlu. Alasannya sederhana, yaitu berkenaan dengan kasus-kasus konkrit yang terjadi di dalam praktik dan yang tidak mungkin dapat diramalkan terlebih dahulu kemunculannya oleh perumus undang-undang.

Daftar Pustaka

 https://www.artonang.com/2016/04/pembaharuan-hukum-pidana-di-indonesia.html?m=1
Barda Nawawi Arief, 2008, RUU KUHP Baru Sebuah Restrukturisasi/Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Indonesia, Universitas Diponegoro, Semarang
 "MANFAAT ANALOGI DALAM HUKUM PIDANA UNTUK MENGATASI KEJAHATAN YANG MENGALAMI MODERNISASI",Yuridika: Volume 31 No 2, Mei 2016, hal 224-225
Ibid, hal 225-226

Artikel lainnya : TINDAK PIDANA