Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

IJTIHAD dan TANTANGAN MODERNITAS dalam FIKIH KONTEMPORER


Di era globalisasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolog informasi dewasa ini ternayat berimplikasi pada munculnya probematika kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek.  Hal ini bisa kita perhatika dengan munculnya aliran atau pemikiran beberapa golongan yang mulai menyimpang dan cenderung liberal bahkan sekuler.
Rasul telah membentuk kesadaran yang tinggi kepada umat islam untuk melakukan ijtihad. Terutama kepada umat generasi pertama bahwa untul membina masyarakat yang islami tidak hcukup hanya melaksanakan apa yang tersurat dalam Al-qur’an atau apa yang telah diputuskan olehRasulullah secara konkret, tetapi perlu pemikiran dan ijtihad.
Dewasa kini, seiring berkembangnya zaman, tentu saja masalah yang dihadapi semakin kompleks dan butuh dampingan ulama kontemporer untuk melakukan ijtihad. Oleh karena demikian, dalam kajian ini kmai berusaha mendapat pandangan tentang bagaimana ijtihad dalam era globalisasi masa kini, model apa yang dibutuhkan dan bentuk ijtihad yang perlu di kembangkan.

Baca juga : Hukum Islam : Hukum dan Moral, Positivisme dan Idealisme

Rumusan Masalah

  • Konsep dasar, model dan perangkat ijtihad kontemporer
  • Kenyataan hukum dalam islam di Indonesia masa kini
  • Kerangka pengembangan fikih melalui ijtihad kontemporer
  • Pengaruh modernisasi terhadap konsepsi hukum islam
  • Urgensi ijtihad kontemporer

Tujuan Penulisan

  • mengetahui dasar model dan perangkat ijtihad kontemporer
  • menganalisa bagaimana kenyataan hukum dalam islam di Indonesia masa kini
  • mengetahui kerangka pengembangan fikih melalui ijihad kontemporer
  • mengetahui pengaruh modernisasi terhadap konsepsi hukum islam, dan
  • mengetahui urgensi ijtihad kontemporer

PEMBAHASAN

Konsep Dasar, Model Dan Perangkat Ijtihad Kontemporer

Yusuf al-Qaradawi menawarkan tiga alternatif model dalam melaksanakan ijtihad kontemporer, yakni ijtihad intinya'i, ijtihad insyai, dan ijtihad integrasi antara keduanya. Mengenai maksud ijtihad intiqai yaitu: "Ijtihad intiqai adalah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada khazanah fikih Islam yang penuh dengan fatwa dan keputusan hakim". Sementara ijtihad insyai adalah usaha pengambilan konklusi hukum dari suatu persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu.

Tawaran ketiga adalah dengan memadukan antara ijtihad inyiqa'i dan insya'i, yaitu memilih pendapat para ulama terdahulu yang dipandang lebih relevan dan kuat, kemudian dalam pendapat tersebut ditambah unsur-unsur ijtihad baru.

Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Aillatuh mengatakan bahwa sebuah metode ijtihad (penalaran hukum) sendiri secara umum dapat dibagi ke dalam tiga model:

  • pertama, melalui penalaran hukum yang berangkat dari semua kegiatan yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik). 
  • kedua, pola situasi (analogi), yaitu usaha untuk menetapkan hukum Islam yang khususnya tidak terdapat dalam nasi dengan cara menganalog-katanya dengan kasus (peristiwa) hukum yang terdapat dalam nasi karena adanya keseriusan hukum.
  • Ketiga, pola Istilahi, yaitu suatu metode penalaran hukum yang mengumpulkan ayat-ayat umum guna menciptakan prinsip universal untuk melindungi atau mendatangkan kemaslahatan.

 Pengembangan fiqih Muamalah 

kontemporer dengan menggunakan model istilahi bertujuan mencapai kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan memadukan ukuran nass atau teks dengan pandangan logika atau akal. Pemasukan keduanya bertujuan untuk kemaslahatan yang hendak dicapai tidak liar, lepas dari koridor syara' serta hanya menggunakan pertimbangan akal dan realitas sosial semata.

Model yang paling tepat digunakan untuk model ijtihad kontemporer dalam rangka menghasilkan fiqh kontemporer adalah metode ketiga, yaitu model istislahi. Model inilah yang dipakai oleh para sahabat, tabiin, dan para imam madzhab disetiap waktu dan masa. Model ini juga mempertemukan dua hal: pertama, tetap berpegang teguh pada nass dan kedua, tetap menjaga dan mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman mendalam terhadap nass dan menjelaskan illatnya.
Perangkat ijtihad merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. Persyaratan mujtahid akan selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat tekstual dan berkaitan dengan moralitas dan integritas mujtahid. Al-Ghazali misalnya, mensyaratkan seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara' dan harus adil serta menjauhi perbuatan maksiat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Al syatibi sebagai "Bapak Maslahat" mensyaratkan dua hal yaitu 1) Bisa memahami tujuan syariat secara sempurna, 2) Bisa menggali suatu hukum atas dasar pemahaman seorang mujtahid.
Ahmad Bu'ud menyatakan bahwa ijtihad kontemporer setidaknya mempunyai tiga perangkat pokok, yang secara singkat adalah: Pertama, Fiqhal-Nassi dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam Al-quran dan sunah. Disamping itu beberapa kaidah dalam memahami teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahud diantaranya;
a) memiliki kapabilitas dalam pengetahuan bahasa Arab,
b) Mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (sebab al-Nuzul wa al-wujud),
c) mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqasid al-Syariah).

Kedua, fikih realitas (al-fiqh al-waqi'i), yaitu pemahaman yang mendalam dan integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Ketiga, ijtihad kolektif (jama'i). ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihad jama'i), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini.

Ijtihad kontemporer dilaksanakan secara bersama-sama oleh berbagai pakar dari berbagai latar belakang ilmu, dan menguasai metode ushul fiqh dan ilmu-ilmu metode penemuan hukum modern. Penguasaan metode ijtihad klasik atau usul fiqh dan berbagai ilmu humaniora dan sains modern menjadi keharusan bagi para murid kontemporer.

Kenyataan Hukum Dalam Islam Di Indonesia Masa Kini

Dalam sejarah perkembangan hukum islam di indonesia, kedudukan hukum islam menjadi ukum positif. Sebenarnya telah di mulai sejak zaman VOC yang dikenal dengan resolutie der indische regeering, 25  maret 1760, yaitu berupa suatu kumppulan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan menurut hukum islam, untuk di pergunakan pada pengadilan VOC bagi orang indoesia, dan hukum ini dikenal sebagai Conpendium frijer.
Kemudian ada kumpulan peraturan hukum perkawinan dan perwarisan menurut islam yang dibuat untuk digunakan di daerah Cirebon, Semarang, Makasar,dan bahkan ada yang mengatakan digunakan pula di daerah Kuala Kapuas. Pengadilan agama di indonesia sudah ada sejak jaman kerajaan yaitu pada masa Adipati Anta Kuusumah kurang lebih pada tahun 1763 (J.J Van D Velde : De Goddienstige Rechtspraak in Nederlands Indies).

Politik hukum tentang pemerintah hindia belanda mengenai peradilan agama, tertuang dalam ayat 3 pasal 75 Reglement op het beleid der regerings van nederlandch indie, disingkat dengan  regeerings Reglement (RR), Staatsbland 1854 No. 129 di negri belanda dan staatsbald No. 2 di Indonesia (Hindia Belanda). Peraturan ini diperlukan bagi orang-orang Islam di Indonesia dan yang disamakan, Undang-undang Agama (Goddiestig wetten) dan kebiasaan penduduk indonesia itu. Masa itu dikenal dengan masa Receptio on complexu theorie, suatu teori yang menyatakan diIndonesia berlaku hukum Islam.

Kemudian tahun 1929 RR diubah menjadi wet op de staats inrichting van nederlands indie (indiesche staatsregeling), atau I.S Staatsbland 1929 No. 221 terkenal dengan theorie receptie, dimana hukum islam dapat diterima jika hukum islam tersebut dapat diterima oleh hukum adat, dan apabila ordonansi tidak pula menetukan lain. Sejalan dengan itu tahun 1937, staatbland 1937 No. 116, yang mulai berlaku mulai tanggal 1 April 1937, karena wewenang pengadilan agama sangat luas dalam S. 1882 No. 152 tersebut dibatasi sampai yang berwenang mengadili masalah nikah, rujuk dan talak saja. Oleh karena itu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan saja yang dapat dikemukakan contoh kasusnya.

Kesadaran hukum masyarakat islam dalam dekade theories receptio in complexu dan receptie theorie, khusus dalam masalah perkawinan adalah sebagai berikut :
Asasnya perkawinan menurut islam itu adalah poligami. Artinya suami bebas mau menikah dengan istri kedua,ketiga dan keempat tanpa meminta izin dari istri pertama, kedua dan selanjutnya.
Talak adalah hak suami, idah adalah hak istri. Suami dapat menjathkan talak terhadap istri kapan saja dan dimana saja.
Harta benda dalam perkawinan tetap terpisah antara suami dan istri.
Masyarakat indonesia pada waktu itu sudah sesuai ijtihad imam syafi’i bahwa asas perkawinan menurut islam adalah poligami. di sisilain untuk membuktikan bahwa perkawinan itu adalah poligami, masyarakat islam mempedomani pula dari hadist atau sunnah rosul, bahwa rosullulah saw, beristri sembilan (9) orang dan ada pula yang berpendapat istri rosulullah itu tigabelas (13) orang.
Bahkan ada yang menerjemahkan Surah An-nisaa’ ayat 3 itu dengan nikahilah wanita yang baik boleh dua, tiga, atau empat, jumlahnya sembilan, sesuai dengan hadist fi’ili rosulullah saw. bahkan ada yang menafsirkan lebih ekstrim yaitu dua-dua, tiga-tiga, empat-empat, jadi boleh beristri dengan wanita tertentu dengan batas jumlah 18 orang wanita. Tafsiran ayat ini kurang lazim diindonesia namun hal tersebut lazim saja bagi golongan syi’ah imamiah di Iran.
Lalu bila dihubungkan denga tafsir surah an-nisaa’ ayat 127 yang menjelaskan “ apabila ditanya kepada engkau, wahai muhammad siapa-siapa wanita yang yang boleh dinikahi, dua, tiga, atau empat itu, jawablah adalah wanita-wanita anak yatim yang berada dalam pemeliharaan kamu, atau ibu dari anak yatim itu.” Dari penafsiran surah an;nisaa’ ayat 127 tersebut tampak jelas boleh beristri dua, tiga atau empat dengan wanita manapun baik wanita yang yatim atau tidak asal dapat berlaku adil dan tidak melanggar aturan perkawinan yang tertera dalam al-qur’an surah an-nisaa’ ayat 22,23,24. Pembolehan itu tanpa izin istri pertama jika akan berpoligami. Masyarakat indonesia mengangap bahwa perkawinan menurut hukum islam itu prisnsip poligami yag dicontohkan oleh rosulullah saw.

Kerangka Pengembangan Fikih Melalui Ijtihad Kontemporer

Pembangunan konstruksi Fiqih Kontemporer harus sistematis, aplicable, dan kontekstual. Konstruk ini dapat dioperasionalkan dengan mencari nass-nass dari Al-Qur’an dan al-Sunnah, kaidah ushuliyyah dan kaidah fiqhiyah yang dapat dikaitkan dengan problem yang muncul akibat perubahan dan perkembangan aktivitas dan perkembangan perilaku manusia, kondisi dan situasi sosiokultural.

Nass

Nass atau teks yang berupa ayat Al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkait dengan hukum Ekonomi didalamnya mengandung nilai-nilai moralitas sebagai spirit  (ŕuh) untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun makhluk sosial. Nass tersebut berlaku bagi umat manusia secara universal, tidak terbatas ruang dan waktu. Artinya perubahan zaman tidak mampu merubah aturan yang ada dalam nass tersebut
Nass yang berupa ayat dan al-Sunnah masih bersifat global. Ulama mutaqaddimin pada dasarnya sudah menderivasi nas-nas yang bersifat ijmali (global) dalam kaidah umum yang dituangkan dalam kaidah Ushuliyyah. Kaidah Ushuliyyah merupakan kaidah umum yang ushul fiqh yang masih global yang berlaku bagi semua bagian dan objeknya. Kaidah inilah yang dapat digunakan mujtahid sebagai panduan dalam melakukan istinbath hukum.

Change dan Development

Hukum islam pada dasarnya berkembang saling berkaitan dengan disiplin lainnya. Oleh karena, itu, perubahan-perunahan dan perkembanagan pada aspek lainnya sudah seharusnya mendpat umpan balik dari hukum islam.
Perubahan sosiokultural masyarakat akibat perkembangan zaman membawa pengaruh signifikan terhadap perilaku masyarakat serta menimbulkan fenomena baru dalam kehidupan mereka. Perubahan dan perkembangan tersebut merupakan sunnatullah. Perkembangan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, perangkat telekomunikasi, dan informasi, berpengaruh pada perilaku, gaya hidup, masyarakat. Hal ini menimbulkan fenomena baru atau suatu kasus yang belum ada aturan dalam fiqih klasik.

Ijtihad kontemporer 

Ijtihad kontemporer merupakan sebuah usaha dari mujtahid untuk mengkomunikasikan dan mengkontekskan teks-teks atau nass yang terkait dengan hukum dengan perkembangan zaman dengan segala produknya.
Ijtihad kontemporer merupakan sarana mendialogkan dan mengharmoniskanantara teks dan konteks, baik konteks zaman, kondisi dan situasi sosio- kultural suatu masyarakat. Sebagai sarana untuk membantu kontekstualisasi teks, ulama telam membuat kaidah kaidah, baik kaidah ushuliyah maupu kaidah fiqhiyah.
Ada beberapa golongan yang berbeda pendapat tentang penetapan maslahat sebagai maqosit al-syariah khususnya yang berhubungan dengan maslahat duniawiyah yang berkaitan dengan nsah-nash: pertama, golongan yang hanya berpegang pada nash saja dan mangembil dzahiriyah dan tidak melihat kepada sesuatu kemslahatan yang tersirat dalam nash itu. Demikanlah kehadiran golongan dzahiriyah, golongan yang menolak qiyas. Mereka mengatakan tak ada kemaslahatan melainkan didatangkan syarak kedua, golongan yang berusaha mencari maslahat  dari nash untuk mengetahui ilat-ilat nash maksud dan tujuan-tujuannya golongan ini mengkiaskan segala yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang mengandung maslahat itu ketiga, golongan yang menetapkan setiap maslahat yang masuk ke dalam jenis maslahat yang ditetapkan oleh syarak. Maka, walaupun tidak disaksikan oleh suatu dalil tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri dan mereka namakan maskahat mursalah

Baca juga : Persaingan Usaha

Dawabit al-fiqhiyah 
Ijtihad kontemporer yang dilakukan tidak hanya beriorentasi pada produk yang berbentuk fiqih kontemporer, akan tetapi  juga membuat prinsip-prinsip dasar pengembangan fiqih atau dawabit al-fiqhiyah. Dawabit al-fiqhiyah dalam konteks ini adalah prinsip-prinsip berlaku ada spesifikasi berbagai bidang fiqh dawabit al-fiqhiyah ini harus dibuat pada tiap-tiap cabang fiqih yang dia ntaranya meliputi al-akhwal asy-syakhsiyyah, fiqih al-jinayah (pidana islam), fiqih al-siyasah (hukum politik islam), fiqih al-mawaris (hukum waris), tak terkecuali dalam bidang hukum ekonomi seperti hukum wakaf dan fiqih muamalah.


Fiqih kontemporer 
Fiqih kontemporer merupakan hasil ijtihad dengan berangkat dari nash dan spiritnya untuk menegakkan norma dan tuntunan moral terkait dengan hukum ekonomi syariah, norma dan moralitas tersebut kemudian di bakukan dalam sebuah aturan hukum yang mengikat dan berlaku dan sebagai jawaban atas problem yang muncul di era modern dalam perspektif fiqih
Fiqih kontemporerharus diproduk tidak hanya dalam rangka menjawab problem yang muncul, tapi harus bersifat antisipatif untuk menjawab problem yang mungkin akan muncul di kemudian hari oleh karena itu, ijtihad harus dilakukan secara intens dan rutin agar fiqih selalu aktual dan aplicable.

Kemasahatan
Secara etimologi maslahah sejenis dengan kata manfaah, baik ukuran dan artinya. Kata maslahah merupakan masdar yang mengandung arti kata al-salah seperti kata manfaah yang mengandung arti al-naf.  Kata maslahah merupakan bentuk mufrad dari kata mashalih. Sebagaimana di terangkan pengarang kitab lisan al-Arab yaitu setiap sesuatu yang mengandung manfaat baik dengan cara mendatangkan sesuatu yang berguan maupun dengan menolak sesuatu yang berguana maupun dengan menolak sesuatu yang membahayakan. Sedangakan secara termonologi mashlahah yaitu manfaat yang menjadi tujuan syari’  untuk hamba-Nya.
Istilah Maslahah Mursalah populer dengan istilah al istihlah atau al istidlal al mursal. Meskipun memiliki kesamaan yang mendasar, ysitu kehendak mendapatkan kemaslahatan dengan keluarnya suatu hukum dari suatu perkara tertentu. Istislah Secara bahasa adalah menuntut suatu kemaslahatan . sedangkan secara istilah,  Istislah  didefinisikan sebagai  sutu metode pengembalian hukum terhadap suatu peristiwa yang tidak memiliki dasar baik dari Nass maupun ijma’ ulama dengan tujuan untuk mewujudkan suatu kemashlahatan yang meyakinkan walaupun tidak ada jaminan tertentu dari syara’.
Menurut Imam Syatibi, seorang mujtahid tidak boleh menerapkan hukum yang telah di galinya dari Al-Quran atau Sunnah sebagaimana adanya. Ia berkewajiban memberikan pertimbangan berdasarkan situasi dan kondisi yang mengitari objek hukum.
Apabila hukum yang dihasilkan dari ijtihadnya itu tidakcocok untuk diterapkan pada objek hukum karena penerapan hukum itu mebawa kemudhratan, maka Mujtahid itu harus mencarikan hukum lain yang lebih sesuai, sehingga kemudharatan tersebut bisa di hilangkan. Teori inilah yang dikenal dengan sebutan Nazariyyah i’tibar al-ma’al.
Imam Al-Qarafi, salah seorang penganut madzhab maliki dalam kitabnya Al-Ihkam menegaskan bahwa aturan yang wajib diperhatikan ahli fikih dan fatwa ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari hari kehari  sambil memperhatikan tradisi dan kebiasaan. Yusuf qardawi dalm bukunya Syariatul Islam Salihah Lit –Tatbiq Kulli Zaman wa Makan  juga menjelaskan bahwa dianytara hukum-hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan.
Mashlahat sebagai metode dan sekaligus tujuan hukum isalm (Maqashid al-Syariah) terus mengalami perkembanagan , hingga sekaramg , hingga merucut menjadi dua trend besar. Pertama, trend yang memakai pada metode mashlahat terikat pada aturan main sebagaimna sejak dulu di peraktekkan ulama salaf . kedua, trend yang dalam memakai metode mashlahat cenderung lebih bebas. Metode kedua tidak membuat aturan main yang jelas dan tegas.
Berangkat dari penerapan di atas, maka kemashlahatan yang menjadi tujuan fiqih kontemporer  melalui ijtihad kontemporer selain mempertimbangkan realitas atau konteks, tetap harus memiliki landasan. Ramadhan al-Butimemberikan batasan dan pedoman dalam menetapkan kemashlahatan dengan lima kriteria: memprioritaskan tujuan Syara’ : tidak bertentangan dengan Al-Quran: tidak bertentangan dengan Al-Suunah: tidak bertentangan dengan prinsip qiyas : dan memperhatikan kemaslahatan yang lebih penting. Al-syatibi membatasi dawabit al-Mashlahah menjdi dua.  Pertama, maslahatitu bersifat mutlak dan tdak subyektif. Kedua, bersifat universal dan tidak bertentangan dengan Juziyat-Nya.

 Seorang mujtahid, agar dapat menetukan peringkat mashlahat harus memperhatikan ukuran-ulkuran sebagai berikut ;

Al-Maslahah al-Dharuriyyah yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat Dengan kata lain Al-Maslahah al-Dharuriyyah (kebutuhan primer) adalah kebutuhan mendasar yang menyangkut mewujudkan dan melindungi eksistensi lima pokok yaitu : memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara harta Menurut para ahli usul fikih, kelima kemaslahatan ini disebut al-masalih al- khamsah. Apabila kemaslahatan ini hilang, maka kehidupan manusia akan bisa hancur karenanya, dan tidak akan selamat baik di dunia maupun di akhirat Menurut al-Syathibiy, dari kelima hal ini adalah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi masyarakat dan pribadi.

Al-Maslahah al-Hajiyyah yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok atau mendasar sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia Dengan kata lain, kebutuhan al- Hajiyyah ( kebutuhan sekunder), adalah suatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, akan tetapi tidak mencapai tingkat dharury Seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupanitu sendiri, namun keberadaannya dibutuhkan untuk memberi kemudahan dalam kehidupannya.

Al-Maslahah al-Tahsiniyyah yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasan yang dapat melengkapi keemaslahatan sebelumnya Dengan kata lain adalah sesuatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusiaJika kemaslahatan Tahsiniyyah ini tidak terpenuhi, maka kemaslahatan hidup manusia akan terasa kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemelaratan dan kebinasaan hidup.

Urgensi Itihad Kontemporer
Secara historis, ijtihad telah tumbuh sejak masa-masa awal islam, yakni pada masa nabi SAW. Dan kemudian menjadi berkembang pada masa sahabat dan tabi’in serta masa selanjutnya hingga kini dan mendatang. Bahkan justru dengan adanya ijtihad ini, ajaran-ajaran islam dapat senantiasa sesuai dengan dinamika perkebanganzama. Sehingga disinilah terletak relevansinya ungkapan bahwa syariat islam itu akan selalu sesuai setiap masa dan tempat.

Penelusuran terhadap tarikh tasyri’ menunjukkan bahwa rasulullh SAW menggalakkan ummatnya untuk berijtihad ini misalnya terungkap dalam beberapa hadits. Islam adalah agama yang senantiasa sesuai dengan segala zaman dan tempat. Sidat dasar islam ini didukung oleh instrument hukum yang menjadikannya sesuai denan segala perubahan jaman.
Ijtihad merupakan salah satu asas tegaknya fikih di dalam agama dan kehidupan islam. Oleh Karena itu, urusan agama dan juga urusan dunia tidak akanselamanya berjalan tanpa ijtihad. Ijtihad dalam islam memiliki kedudukan yang sangat penting karena tanpa adanya ijtihad akan terjadi kemandegan hukum.

Masyarakat terus berubah dengan cepat karena perkembangan ilmu pengetahuan dan eknologi disatu sisi dank arena hukum islam yang yang dikesani kaku dan statis oleh sebagian orang disisi lain, membawa kepada kesimpulan sederhana bahwa hukum islam tidak relevan lagi digunakan atau di aplikasikan pada masa kini. Tentu saja pernyataan ini sangat salah jika ijtihad berperan sebagaidinamisator hukum islam terus diefektikan.
Agar hukum islam tetap actual untuk mengatur kehidupan umat islam dimasa kini diperlukan hukum islam dalam bentukya yang baru dan tidak mesti mengambil alih smeua fikih yang lama

Sebagai yang disinggung diatas dimana permasalah islam adalah banyaknya masalah kontemporer yang tidak tercover atau diatur secara komperhensif, misalnya masalah hukum perkawinan tentang leglitas atau perceraian via teleconference atau bahkan via media social seperti facebook, twitter dan yang lainnya. Atau permasalah ikih jinayah tentang legalitas potong tangan bagi para koruptor dan permasalah kontemporer lainnya. Berangkat dari pemapara diatas, sangatlah jelas bahwa urgensi ijtihad kontemporer dengan berbagai pendekatan untuk menjawab perntanyaan hal-hal yang dipermasalahkan masa kini dalam presprktif hukum.

Pengaruh Modernisasi Terhadap Konsepsi Hukum Islam
Harun Nasution membagi sejarah Islam ke dalam tiga periode yaitu periode klasik (650-1250 M.), periode pertengahan (1250-1800 M.) dan periode modern (1800 M.- dan seterusnya). Dalam persepsi muslim tradisional (pra modern), hukum Islam menyajikan sebuah sistem yang ditakdirkan Tuhan, yang tidak ada kaitannya dengan berbagai perkembangan historis. Dalam persepsi mereka, Al-Qur’an dan al-Sunnah telah memberikan uraian rinci tentang segala sesuatu. Menurutnya, hanya ada satu sumber yang darinya aturan-aturan hukum dapat dikembalikan yaitu wahyu Tuhan. Ide tentang hukum alam tidak dikenal. Coulson menyimpulkan bahwa pemahaman tradisional tentang perkembangan hukum Islam tidak memiliki dimensi historis sama sekali.
Era modern yang menurut Harun Nasution bermula pada abad ke-19, merupakan periode yang di dalamnya kepercayaan tradisional mulai dipertanyakan dan mendapat tantangan serius. Melalui imperialisme, pengaruh peradaban Barat terhadap dunia Timur, terutama dunia Islam, sangat kuat. Akibatnya, beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan, dan salah satu aspek tersebut adalah pertanyaan yang ditujukan kepada doktrin hukum Islam. Pada perkembangan berikutnya modernitas ini berpengaruh terhadap konsepsi hukum Islam (sebagaimana menurut anggapan muslim tradisional tersebut di atas) .
Perubahan pemahaman terhadap konsepsi hukum Islam tersebut salah satunya dihembuskan oleh Schaht yang meruntuhkan anggapan tradisional tentang hukum Islam. Schaht tidak mengkaji hukum Islam secara teologis dogmatis, melainkan lebih bersifat historis dan sosiologis. Ia menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berhubungan erat dengan realitas sosial. Ia menyimpulkan bahwa sebagian besar hukum Islam termasuk sumber-sumbernya, merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan historis.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu pengaruh modernitas terhadap konsepsi hukum Islam adalah bahwa hukum Islam tidak lagi dipandang hanya semata-mata bersifat dogmatis yuristik melainkan ada dimensi historisitas dan sosiologis. Dan kalau kita kaitkan dengan perkembangan pemahaman terhadap konsepsi hukum Islam di era modern (dan kontemporer saat ini) maka dapat diambil kesimpulan yang serupa bahwa hukum Islam tidak lagi dipahami sebatas wahyu Tuhan yang tidak terjangkau oleh historisitas melainkan bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari historisitas yang melingkupinya. Bahkan saat ini ada anggapan bahwa hukum Islam tidak hanya ditemukan dalam wahyu tetapi juga dapat ditemukan dalam alam (hukum natural).
Dalam menghadapi pengaruh modernitas yang telah merasuk kedalam setiap sendi kehidupan masyarakat Islam, jelas bahwa upaya pengembangan hukum Islam sangat diperlukan. Yusuf al-Qardhawy secara tegas mengungkapkan bahwa semenjak terjadinya perubahan pesat dalam segala lini kehidupan dan perkembangan sosial sebagai hasil dampak dari revolusi industri, maka ijtihad pada zaman modern ini lebih dibutuhkan dibandingkan pada zaman-zaman sebelumnya. Menurutnya, adalah suatu kebutuhan yang mendesak pada masa sekarang ini untuk membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, Pintu intihad ini, dibukakan oleh Rasulullah saw, maka tiada seorang pun yang berhak menutupnya selain beliau. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap orang Islam bertugas tidak hanya membuka pintu intihad tersebut melainkan harus benar-benar melaksanakan ijtihad tersebut.
Ketika persoalan yang muncul merupakan persoalan baru yang tidak eksplisit (qath’ī) dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka ijtihad adalah jawabannya, yang sudah barang tentu mesti dilakukan menurut konsep yang sebenarnya di dalam Islam. Mengenai urgensitas kesinambungan ijtihad, sebagaimana dikutif Yusuf al-Qaradhawi, Imam al-Syaukani berkata: “Tidak tersembunyi atas kalian (jelas nampak-peny.) bahwa kedudukan ijtihad adalah fardhu yang niscaya keberadaannya sepanjang rentangan zaman, tanpa harus kosong dari seorang mujtahid. Bahkan, dia menambahkan  hendaknya ijtihad tidak hanya sampai pada tataran hukum saja melainkan menembus “lingkaran usul fiqih” sebagai penyempurna babak yang telah dimulai oleh Iman al-Syatibi.
Sepemdapat dengan pernyataan tersebut diatas, Amir Mu’allim dan Yusdani secara tegas menyatakan bahwa pengembangan hukum Islam, di samping dilandasi oleh epistemologi yang kokoh juga perlu memformulasikan dan merekonstruksi basis teorinya. Basis teori hukum Islam sebagaimana dibahas oleh para ahli teori hukum Islam terdahulu, bahwa salah satu persyaratan penting mujtahid dalam melakukan ijtihadnya adalah kaharusan untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Pernyataan ini pertama kali dikemukakan oleh Abd al-Malik al-Juwaini, dilanjutkan oleh Abu Hamid al-Ghazali, diteruskan oleh Izzuddin bin Abd al-Salam. Basis teori ini secara sistematis dan rinci dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dan diliberalisasikan oleh Najmuddin al-Thufi yang kemudian dikenal dengan term maqashid al-syarī’ah. Kajian utama basis teori ini adalah mengenai kemahlahatan manusia baik di dunia dan akhirat.
Pemikiran maslahat yang merupakan basis teori hukum Islam yang telah dirintis oleh tokoh- tokoh Islam tersebut kemudian menghilang dan dihidupkan kembali oleh para pakar hukum Islam modern, dan lebih relevan lagi jika dikaitkan dengan kebutuhan legislasi Islam dalam era globalisasi sekarang ini.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi modernitas sebagai tantangan terberat bagi siapa saja, Islam harus memiliki watak ganda; pada satu sisi, sebagai perwujudan hukum Tuhan ia harus mampu mengakomodasi atau bersikap akomodatif terhadap tuntutan zaman. Watak pertama menuntutnya untuk mampu membentuk tata kehidupan masyarakat. Watak kedua menuntutnya untuk dapat dipengaruhi masyarakat supaya tidak ketinggalan zaman.
Terdapat dua kondisi jika watak kedua ini diabaikan. Pertama, Islam akan menjadi hukum yang kuno, kaku, dan ketinggalan zaman. Kedua, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai hukum Tuhan. Ini terjadi apabila hukum Islam terlalu semangat menerima perubahan. Artinya, seperti yang diungkapkan oleh DR. Ahmad Buud, bahwa setidaknya terdapat beberapa hal yang menjadi karakteristik dan dampak negatif maupun positif modernitas, diantaranya adalah,:

  • pertama, semakin terbebasnya manusia dari kejumudan dan taklid yang membutakan; 
  • Kedua, kemajuan dan perkembangan teknologi, terutama dari Barat; 
  • Ketiga, kegandrungan masyarakat dunia pada kacamata (worldview) Barat, hingga tersebar  paham  sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam;  
  • Keempat, kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya dari Barat. Oleh sebab itu, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustasyhfā-nya beberapa ulama besar lainnya dengan karya mereka masing-masing.

Kesimpulan

Pengembangan fiqih Muamalah kontemporer dengan menggunakan model istilahi bertujuan mencapai kemaslahatan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dengan memadukan ukuran nass atau teks dengan pandangan logika atau akal. Pemasukan keduanya bertujuan untuk kemaslahatan yang hendak dicapai tidak liar, lepas dari koridor syara' serta hanya menggunakan pertimbangan akal dan realitas sosial semata.
Model yang paling tepat digunakan untuk model ijtihad kontemporer dalam rangka menghasilkan fiqh kontemporer adalah metode ketiga, yaitu model istislahi. Model inilah yang dipakai oleh para sahabat, tabiin, dan para imam madzhab disetiap waktu dan masa. Model ini juga mempertemukan dua hal: pertama, tetap berpegang teguh pada nass dan kedua, tetap menjaga dan mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman mendalam terhadap nass dan menjelaskan illatnya.

Kesadaran hukum masyarakat islam dalam dekade theories receptio in complexu dan receptie theorie, khusus dalam masalah perkawinan adalah sebagai berikut :
Asasnya perkawinan menurut islam itu adalah poligami. Artinya suami bebas mau menikah dengan istri kedua,ketiga dan keempat tanpa meminta izin dari istri pertama, kedua dan selanjutnya.
Talak adalah hak suami, idah adalah hak istri. Suami dapat menjathkan talak terhadap istri kapan saja dan dimana saja.
Harta benda dalam perkawinan tetap terpisah antara suami dan istri.
Masyarakat indonesia pada waktu itu sudah sesuai ijtihad imam syafi’i bahwa asas perkawinan menurut islam adalah poligami. di sisilain untuk membuktikan bahwa perkawinan itu adalah poligami, masyarakat islam mempedomani pula dari hadist atau sunnah rosul, bahwa rosullulah saw, beristri sembilan (9) orang dan ada pula yang berpendapat istri rosulullah itu tigabelas (13) orang.
Imam Al-Qarafi, salah seorang penganut madzhab maliki dalam kitabnya Al-Ihkam menegaskan bahwa aturan yang wajib diperhatikan ahli fikih dan fatwa ialah memperhatikan perkembangan yang terjadi dari hari kehari  sambil memperhatikan tradisi dan kebiasaan. Yusuf qardawi dalm bukunya Syariatul Islam Salihah Lit –Tatbiq Kulli Zaman wa Makan  juga menjelaskan bahwa dianytara hukum-hukum hasil ijtihad terdapat hukum yang landasannya kemaslahatan temporal, yang bisa berubah menurut perubahan waktu dan keadaan.
Mashlahat sebagai metode dan sekaligus tujuan hukum isalm (Maqashid al-Syariah) terus mengalami perkembanagan , hingga sekaramg , hingga merucut menjadi dua trend besar. Pertama, trend yang memakai pada metode mashlahat terikat pada aturan main sebagaimna sejak dulu di peraktekkan ulama salaf . kedua, trend yang dalam memakai metode mashlahat cenderung lebih bebas. Metode kedua tidak membuat aturan main yang jelas dan tegas.
Ijtihad merupakan salah satu asas tegaknya fikih di dalam agama dan kehidupan islam. Oleh Karena itu, urusan agama dan juga urusan dunia tidak akanselamanya berjalan tanpa ijtihad. Ijtihad dalam islam memiliki kedudukan yang sangat penting karena tanpa adanya ijtihad akan terjadi kemandegan hukum. Agar hukum islam tetap actual untuk mengatur kehidupan umat islam dimasa kini diperlukan hukum islam dalam bentukya yang baru dan tidak mesti mengambil alih semua hukum lama.

Baca juga : Akal dan Wahyu dalam Islam

DAFTAR PUSTAKA

Imam mustofa, 2017, Kajian Fikih Kontemporer, jogyakarta:Idea Press Yogyakarta,
Salma, Jurnal Mashlahah Dalam Persepektif Hukum Islam
Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas hukum islam, Jakarta, Sinar Grafika,2004
Majelis Dakwah Indonesia, lembaga dakwah (jurnal jum’at), Jakarta,Januari 1981
Ibrahim Hoses, fikih perandingn masalah nikah, talak, dan rujuk, jakarta, tintmas
Muchtar Zarkasih,kertas kerja tentang putusan-putusan Pengadilan Agama dalam perantara para dosen Hukum Islam se-Indonesia, Yogyakarta, Gama