Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hukum Islam : Hukum dan Moral, Positivisme dan Idealisme


Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu bangsa dapat dinilai melalui karakter moral masyarakatnya. Manusia dalam hidupnya harus taat dan patuh pada norma-norma, aturan-aturan, adat istiadat, undang-undang dan hukum yang ada dalam suatu masyarakat. Berkaitan dengan norma-norma, aturanaturan, adat istiadat, undang-undang dan hukum yang mengatur kehidupan manusia dibuat atas kesepakatan sekelompok manusia atau aturan yang berasal dari hukum Tuhan (wahyu) agar manusia dapat hidup sesuai dengan norma yang disepakati dalam komunitas kehidupan manusia maupun hukum dari Tuhan.

Baca juga : Akal dan Wahyu dalam Islam

Rumusan Masalah

  • Pengertian Hukum Islam
  • Apa yang dimaksud  Hukum dan Moral
  • Pengertian Positivisme dan Idealisme

Tujuan Penulisan

  • Mengetahui dan Memahami Hukum Islam 
  • Memahami Hukum dan Moral
  • Mengetahui Bagaimana Positivisme dan Idealisme

PEMBAHASAN

Pengertian Hukum Islam

Hukum adalah  seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda.
Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.

Ruang Lingkup Hukum Islam

Hukum islam baik dalam pengertian syaariat maupun fikih di bagi menjadi dua bagian besar, yaitu:

Ibadah (mahdhah)
Ibadah adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seoraang muslim dalam menjalankan hubingan kepada Allah, seperti shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata caara dan upacara ini tetap, tidak ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah di atur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secaara asasi mengenai hukum, susunan dan tata cara beribadat. Yang mungkin berubah hanyalah penggunaan aalat-alat modern dalam pelaksanaannya.

Muamalah (ghairu mahdhah)
Adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat melakukan usaha itu.

Bagian-Bagian Hukum Islam

Munakahat
Hukum yang mengatur sesuatau yang berhubunngan dengan perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya.

Wirasah
Hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan daan cara pembagian waarisan.

Muamalat
Hukum yang mengatur masalah kebendaan daan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam persoalan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan lain-lain.

Jinayat
Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam al quran daan sunah nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau perbuatan yang bentuk dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.

Al-ahkam as - sulthaniyah
Hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak daan sebagainya.

Siyar
Hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.

Mukhassamat
Hukum yang mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan  hukum acara.
Sistematika hukum islam dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Al-ahkam asy-syakhsiyah (hukum perorangan)
2. Al-ahkam al-maadaniyah (hukum kebendaan)
3. Al-ahkam al-murafaat (hukum acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha)
4. Al ahkam al-dusturiyah (hukum tata negara)
5. Al-ahkam ad-dauliyah (hukum internasional)
6. Al-ahkam al-iqtishadiyah wa-almaliyah (hukum ekonomi dan keuangan)
Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum islam secara umum adalah Dar-ul mafaasidiwajalbul mashaalihi (mencegah terjadinya kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Abu Ishaq As-Sathibi merumuskan lima tujuan hukum islam:

  • Memelihara agama
  • Memelihara jiwa
  • Memelihara akal
  • Memelihara keturunan
  • Memelihara harta

Hukum dan Moral

Hukum dan moral  memiliki hubungan bagaikan roh  dan  jasad. Salah  satunya menjadi tidak  berarti  jika  mengabaikan  yang  lainnya.  Islam  menjadikan  hukum  sebagai  alat untuk  menciptakan  ketaatan  seorang  hamba  terhadap  Khaliknya.  Hasil  pembahasan bahwa  (a)  Hukum berarti  menolak  kedzaliman  atau penganiayaan.  Secara  terminologi hukum  adalah  suatu  aturan  dan  ukuran perbuatan  yang  menjuruskan  perbuatan-
perbuatan tersebut ke tujuan yang semestinya. Kata hukum disandingkan dengan Islam, maka  yang  dimaksud  adalah  kitab  Allah  yang  berkaitan  dengan  perbuatan  manusia (mukallaf) baik  berupa  perintah,  larangan, pilihan maupun ketetapan-ketetapan  hukum
kausalitas. Adapun moral  berarti kesusilaan,  budi  pekerti. Sedang secara istilah, moral diartikan  sebagai  ajaran  tentang  baik  buruk  perbuatan  dan  kelakuan  yang  sering  pula disamakan dengan etika. Sedangkan dalam Islam moral dipadankan dengan akhlak. (b)
Hukum dan moral menurut sebagian pakar hukum adalah terpisah sedangkan sebagian pakar  hukum lainnya  mengatakan  keduanya  harus  bersatu.  (c)  Menurut  Islam  antara hukum  dan  moral  tidak  bisa  dipisahkan  dan  harus  bersandar  pada  al-Quran  dan  hadis
sebagai rujukan pertama dan utama dalam menentukan dan menetapkan suatu perkara.

Hukum dan moral  memiliki hubungan bagaikan roh  dan  jasad. Salah  satunya menjadi tidak  berarti  jika  mengabaikan  yang  lainnya.  Islam  menjadikan  hukum  sebagai  alat untuk  menciptakan  ketaatan  seorang  hamba  terhadap  Khaliknya.  Hasil  pembahasan bahwa  (a)  Hukum berarti  menolak  kedzaliman  atau  penganiayaan.  Secara  terminologi
hukum  adalah  suatu  aturan  dan  ukuran  perbuatan  yang  menjuruskan  perbuatan-
perbuatan tersebut ke tujuan yang semestinya. Kata hukum disandingkan dengan Islam, maka  yang  dimaksud  adalah  kitab  Allah yang  berkaitan  dengan  perbuatan  manusia
(mukallaf) baik  berupa  perintah,  larangan, pilihan maupun ketetapan-ketetapan  hukum
kausalitas. Adapun moral  berarti  kesusilaan,  budi  pekerti. Sedang secara istilah, moral
diartikan  sebagai  ajaran  tentang  baik  buruk  perbuatan  dan  kelakuan  yang  sering  pula
disamakan dengan etika. Sedangkan dalam Islam moral dipadankan dengan akhlak.

(b) Hukum dan moral menurut sebagian pakar hukum adalah terpisah sedangkan sebagian
pakar  hukum lainnya  mengatakan  keduanya  harus  bersatu.
(c)  Menurut  Islam  antara
hukum  dan  moral  tidak  bisa  dipisahkan  dan  harus  bersandar  pada  al-Quran  dan  hadis sebagai rujukan pertama dan utama dalam menentukan dan menetapkan suatu perkara.

Hukum adalah cara yang tetap dalam beraksi atau bereaksi atau pedoman bagi tindakan dan perilaku. Teologi moral berpautan dengan hukum yang merupakan hasil kewajiban manusia untuk mengarahkan segala perilakunya dengan tujuan akhir. Hukum tidak berfungsi atas dasar kebutuhan fisik, melainkan suatu kewajiban ideal moral. Tiaphukum moral pada dasarnya harus baik dan kudus. Artinya, hukum itu harus menuntun kegiatan manusiawi dalam rangka mendukung perwujudan tujuan akhir sejarah manusia dan pencitanya.
Hukum moral dalam arti luas adalah petunjuk yang mengarahkan perbuatan manusia ke tujuan akhir. Definisi ini mencakup aturan-aturan yang mewajibkan, juga nasihat-nasihat, anjuran-anjuran atau izin-izin.

Baca juga : IJTIHAD dan TANTANGAN MODERNITAS dalam FIKIH KONTEMPORER

Hukum moral dalam arti sempit adalah petunjuk yang mengandung ciri mewajibkan, bersifat umum dan bertahan lama, yang mengarahkan tindakanmanusia kepada tujuan akhir. Hanya dalam arti ini hukum moral menjadi objek teologi moral, karena norma yang bersifat umum dan dapat bertahan lama dapatdirumuskan oleh ilmu normatif.

Hukum sebagai norma moral perilaku manusia dibedakan atas hukum moralkodrati, hukum yang diwahyukan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sertahukum manusiawi.
Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan arah tingkah laku masyarakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan-peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandar pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana yang jahat serta akan menentukan apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan. Akan tetapi pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi mencukupi. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah kebebasan pribadi. Untuk mengatur segalanya diperlukan antara lain yang tidak disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut dengan hukum.

Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meskipun coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan.

Pembahasan tentang hubungan antara hukum dengan moral adalah salah satu topik penting dalam kajian filsafat hukum. Dalam kajian hukum Barat, antara hukum dan moral memang mempunyai kaitan erat, tetapi hukum tidak sama dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu. Dikatakan dalam teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah suatu hal dan moralitas adalah hal lain, atau dengan kata lain: “hukum dan moralitas tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama”. Ini tidak berarti bahwa hakim atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula.
Perbedaan Serta Hubungan Hukum dan Moral Pada umumnya, perbedaan dan hubungan antara hukum dan moral dapat dijelaskan sebagai berikut:


  • Hukum membutuhkan moral. Quid leges sine moribus? (Apa artinya UU tanpa moralitas?). Kualitas M. Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalists, hlm. 270.48.hukum juga diukur dari mutu moralnya. Sebaliknya, moral juga membutuhkan hukum agar “semakin terwujud secara lebih pasti dalam perilaku konkret”. Menghormati hak milik orang lain misalnya, adalah sebuah prinsip moral. Prinsip ini diperkuat dalam hukum yang melindungi hak milik.
  • Hukum itu lebih dikodifikasikan dan dengan demikian lebih pasti dan objektif daripada moralitas yang tidak tertulis.
  • Hukum mengatur perbuatan lahiriah (legalitas), sementara moral lebih menyangkut sikap batin manusia.
  • Moralitas adalah “isi minimum dari hukum”. Hukum dan moralitas hanya berbeda dari sisi formal, tetapi tidak ada perbedaan mendasar dari segi substansi. Baik norma hukum maupun norma moral, kedua sama-sama mengatur perilaku manusia.
  • Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan, pelanggar akan terkena hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas hanya hati yang tidak tenang.
  • Tujuan hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
  • Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum termasuk dalam tatanan normatif lahiriah manusia, di luar motivasi batin. Moralitas hanya berkaitan dengan suara hati atau sikap batin manusia. Hukum mengikat secara moral kalau diyakini dalam hati.
  • Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena hukuman.


sebagai rujukan pertama dan utama dalam menentukan dan menetapkan suatu perk
Positivisme dan Positivisme Hukum
Positivisme dalam pengertian modern, adalah suatu sistem filsafat yang dikembangkan oleh Aguste Comte (1798-1857).  Positivisme  adalah metode berfikir  yang hanya mengakui fakta-fakta  positif  dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi,  hubungan objektif  fakta-fakta dan hukum-hukum yang menentukannya, dan meninggalkan semua yang menyebabkan asal-usul tertinggi
Comte seorang matematikus dan filusuf  perancis, membedakan tiga tahap evolusi dalam pemikiran manusia. Tiori tersebut terkenal dengan nama “Tiori Tiga Tahap”. Berdasarkan tiori tiga tahap, seluruh sejarah pemikiran manusia berevolusi dari studium yaitu tiologi (mistis) ke tahap falsafi, dan akhirnya tiba pada tahap positivistis sebagai kemenangan pasti akal
Prinsip pokok positifisme berbunyi “ilmu yang dapat mengajar kepada kita tentang kenyataan hanyalah ilmu-ilmu positif. Ini adalah ilmu pengetahuan (ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia) yang ditunjukkan pada pengamatan keadaan yang sesungguhnya, untuk mengenal keteraturan hukum didalamnya. Disamping ilmu-ilmu positif ini (yang membicaraan kenyataan) positivisme mengakuai keilmiahan ilmu formal (didalamnya dilakukan putusan-putusan kenyataan), yaitu logika dan ilmu pasti. Dengan menganut perinsip ini maka filsafat, tiologi dan etika tidak lagi dianggap sebagai suatu yang ilmiah
Positivisme hukum
Positivisme hukum lahir pada abad ke-19 di tengah pergulatan teoretisi hukum Eropa. Positivisme hukum lahir sebagai kritik atas paradigma berhukum saat itu yang dianggap terlalu idealis dan tidak mempu memenuhi hasrat kepastian hukum (law certainty) karena mengabaikan aspek kodifikatif dari hukum yang menurutnya merupakan jantung penegakan hukum dalam rangka menciptakan kepastian hukum

Aliran-aliran positivisme hukum

Dalam aliran ini ada dua sub aliran yang terkenal yaitu aliran positivisme hukum analitik dan positivisme hukum pragmatik.

Positivisme hukum analitik
Dalam tiori hukum modern, positivisme hukum telah memanifestasikan dirinya ke dalam yurisprudensi suatu tipe analitik yang disebut sebagai positivisme analitik. Positivisme analitik bertitik tolak dari suatu tatanan hukum tertentu dan dari situ dijaring suatu konsep-konsep, pengertian-pengertian dan perbedaan-perbedaan fundamental tertentu dengan menggunakan metode yang sepenuhnya induktif membandingkan semuanya itu mungkin dengan perbedaan-perbedaan, konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran fundamental tertentu, dan tatanan hukum lain, untuk memastikan sejumlah unsur yang sama. Dengan cara ini ia melengkapi ilmu pengetahuan hukum dengan sebuah anatomi suatu sistem hukum. Perinsipnya, memisahkan hukum sebagaimana adanya dari hukum sebagaimana seharusnya.

Positivisme hukum pragmatik
Positivisme pragmatik, sebagai gerakan kaum realis Amerika, merupakan lawan dari teori Austin. Positivisme pragmatis melihat hukum-hukum sebagai karya dan fungsi, bukan sebagai yang tertulis diatas kertas. Pragmatik merupakan rumusan baru dari filsafat. Ia mendorong pendekatan baru pada hukum, yang melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat Inti dari pendekatan pragmatis pada problem-problem hukum adalah tidak mengikuti yang tercataat diatas kertas. Tentu sudah umum sifatnya.

Positivisme pargmatik  dan analitik merupaka kubu-kubu yang terpisah dalam konsep hukum mereka. Bagi positivisme analitik hukum dipisahkan dari etika, sedangkan bagi positivisme pragmatik menempelkan makna penting kebaikan etika, tetapi esensi baik, sebagaimana di nyatakan oleh wiliams james

Idealisme
Pelopor idealisme: J.G.Fichte (1762-1814), G.W.F. Hegel (1770-1831) F.W.J. scheling (1775-1854), schopenhauer (1788-1860).Apa yang dirintisi oleh kant mencvapai puncak perkembanganya pada hegel, dia lahir di german sehingga pengaruhnya sangat besar di german, setelah ia mempelajari pemikiran kant, ia tidak puas tentang ilmu pengetahuan di batasi secara kritis.
 Menurut pendapatnya bahwa, segala pristiwa yang ada di muka bumi ini hanya bisa di mengerti apabila suatu syarat terpenuhi, yaitu jika pristiwa-pristiwa itu sudah secara otomatis mengandung penjelasan-penjelasan. Ide yang berfikir itu sebenarnya adalah yang menimbulkan gerak lain, artinya gerak yang menimbulkan tesis, kemudian menimbulkan anti tesis (gerak yang bertentangan), kemudian timbul sintesis yang merupakan tesis baru yang akhirnya menemukan anti tesis dan seterusnya ini yang disebut proses dialektika. Proses ini lah yang menjelaskan segala pristiwa
Positivisme dan Idealisme

Dalam tori hukum, positivisme dan idealisme digambarkan saling bertentangan. Tiori-tiori idealistik didasarkan pada pernsip-prinsik keadilan dan amat berkaitan dengan “hukum yang seharusnya”. Filsafat hukum idealis menggunakan metode deduksi dalam menarik hukum dari azaz-azaz yang didasarkan manusia sebagai makhluk etis sosial.
Sementara itu tiori positivistik diilhami oleh pandangan-pandangan tentang hukum yang bertentangan. Paham positivisme analitik tidak mempermasalahkan dasar kaidah-kaidah hukum tetapi mengkonsintrasikan diri pada analisis konsep-konsep dalam hubungan-hubungan hukum dengan pemisahan ketat antara kenyataan (das sein) dengan hal yang diharapkan (das sollen) karenanya ia dipisahkan dari keadilandan etika. Namun demikian, hukum alam hadir sebagai hukum yangb idealdan lebih tinggi untuk digunakan sebagai standar keadilan. Akan tetapi karena didasarkan pada akal yang selalu berubah, ia tidak bisa bertopang pada dirinya sendiri dan akhirnya hancur.
Positivisme pragmatis memandang fakta sosial sebagai unsur yang menentukan konsep hukum, karena ia mementingkan hukum yang seharusnya. Ia menganggap bahwa hukum tunduk kepada masyarakat, yang karenanya konsep hukum terus mengalami perubahan sesuai dengan perubahan dalam masyarakat yang lebih cepat berubah daripada hukum.
Positivisme merupakan korban ketegangan konflik,  positivisme analitik dan pragmatik merupakan kubu-kubu yng terpisah dalam konsep hukum mereka. Perbedaan ini disamping yang lain, membuat positivisme tiori yang kontradiksi dalam dirinya sendiri.

Kesimpulan

Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan yang sangat erat sekali. Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat. kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”.
Nilai-nilai moral mengandung nasihat, wejangan, petuah, peraturan, dan perintah turun temurun melalui suatu budaya tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma manusia yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup manusia. Karena etika dan moral saling mempengaruhi, maka keduanya tentu memiliki hubungan yang erat dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Norma sebagai bentuk perwujudan dari etika dan moral yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Baca juga : SUMBER HUKUM ISLAM

Daftar Pustaka

Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A. Filsafat Hukum Islam, cet 1. Jakarta, Logos wacana ilmu 1997.
Dr. Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Oriantalis. Cet. 1, Yogyakarta, tiara wacana yogya, 199.
Asmoro achmadi, Filsafat Umum, ed 1 cet 2. Jakarta 1997
Abdul Ghani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia Jakarta, Gema Insani Press, 1994.
Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Muchsin, Menggagas Etika & Moral di Tengah Modernitas, (Surabaya: CV. Adis, 2002).
Amril M, Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LSFK2P, 2002).