Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kaidah-kaidah Hukum Islam


Dalam etimologi Bahasa arab, kaidah dimaknai sebagai dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu. Kata “al-qawaid” (jamak dari kata qaidah) yang berarti dasar atau fundamen. Sedangkan, bila ditinjau dari kacamata terminologis maka istilah “kaidah” mempunyai makna yang berada sesuai istilah masing-masing bidang studi. Kaidah ini akan mencakup segala permasalahan fiqhiyah yang bersinggungan dengan persoalan yakin, mantap, ragu. Dan semuanya bias ditemui dalam konstruksi ibadah, muamalah, munakahah, maupun uqabah.

Baca juga : SUMBER HUKUM ISLAM

Kaidah hukum adalah studi kajian yang menekankan pembahasan pada kerangka-kerangka hukum yang bersifat umum, yang dirumuskan berdasarkan adanya dalil atau kesamaan illat dan karakteristik persoalan. Dengan kata lain, kaidah hokum merupakan sebuah rumusan umum dari beragam persoaln furuiyyah yang tak terhitung jumlahnya dan memiliki keserupaan illat, dimana keserupaan illat itu bersesuaian dengan dalil nash dan prinsip-prinsip dasar syariat. Hukum-hukum hasil generalisasi itu kemudian dirumuskan dalam sebuah prinsip dasar yang berfungsi untuk menelaah persoalan-persoalan lain yang memiliki persamaan illat.
Oleh karena itu, penulis ingin mengajak pembaca untuk lebih memahami tentang kaidah-kaidah hukum, manfaat dari kaidah hukum, proses dan kegunaan kaidah hukum islam dan juga manfaat dari kaidah hukum islam. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah wawasan pembaca. Apabila ada kesalahan baik dari penulisan ataupun materi yang dipaparkan mohon maaf.

Rumusan Masalah

  • Apa yang dimaksud kaidah dalam hukum islam?
  • Apakah manfaat dari kaidah hukum islam?
  • Bagaimana proses dan kegunaan kaidah hukum islam?
  • Apa prinsip dalam hukum islam?
  • Tujuan
  • untuk mengetahui maksud dari kaidah dalam hukum islam
  • untuk mengetahui manfaat dari kaidah hukum islam
  • untuk mengetahui proses dan kegunaan kaidah hukum islam
  • untuk mengetahui prinsip dalam hukum islam

PEMBAHASAN

Kaidah dalam Hukum Islam

Berikut ini merupakan kaidah dalam hukum islam, antara lain:

1. Pengertian Kaidah Hukum Islam
2. Kaidah-kaidah Hukum Islam atau yang lebih dikenal dalam Qawaidul Fiqiyah disusun oleh para Fuqaha sebagai pedoman untuk mempermudah dan membantu permasalahan parikular (al-juziyyat) dan permasalah yang mirip di dalam menentukan hukum dari suatu perkara atau kejadian. Dalam kaidah-kaidah hukum Islam terdapat sangat banyak kaidah-kaidah dan bercabang dari sini dapat dipahami sisi kajian hukum Islam kecuali jika ia mempelajari kaidah-kaidah hukum Islam itu sendiri.

Kata kaidah secara etimologi berarti asas. Adapun secara terminologi, kata kaidah memiliki beberapa makna yang diantaranya:

  • Menurut As-Suyuthi dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhair bahwa kaidah adalah Hukum yang bersifat kulli (menyeluruh) atau general law yang meliputi semua bagiannya.
  • Menurut Mustafa Az-Zarqa, Kaidah ialah hukum yang bersifat aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar dalilnya.Kesimpulannya kaidah merupakan rumusan yang bersifat global guna membantu para mujtahid dalam penetapan hukumtentang masalah furu’ (cabang).

Macam-macam Kaidah Hukum Islam
Sesuai yang disepakati oleh ulama, kaidah-kaidah itu dibagi ke dalam dua bagian yakni kaidah asasiyah dan kaidah ghairu asasiyah.

  • Kaidah Asasiyah.                                    Kaedah Asasiyah adalah kaidah yang dipandang sebagai kaidah induk. Kaidah ini dipegang oleh seluruh mazhab. Kaidah ini juga terkenal dengan istilah qawaid al-khamsah (kaidah-kaidah yang lima) atau panca kaidah.
  • Kaidah Ghairu Asasiyah Walaupun kedudukannya bukan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam. Karena itu para fuqaha sepakat akan kehujjahan kaidah ini. Adapun kaidah-kaidah ghairu asasiyah ini ada sebanyak 40 kaidah yang dapat kita ketahui didalam kitab Al-Asybah wa An-Nazhoir, karangan Imam Jalaludin Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Suyuthi.

Kemudian, ditambah dengan 68 kaidah yang terdapat dalam kitab Al-Majallatul Ahkamil Adhiyah, yang telah disempurnakan oleh Mustafa Ahmad Az-Zarqa.Ulama’ Fiqih menetapkan bahwa ada  5 kaidah hukum islam yang medasar yang di induksi Nash sehingga  memunculkan berbagai kaidah lainnya. Kelima Kaidah dasar yang disebut al-Qawa’id al-Khamsah tersebut adalah.”

Al-Umuru bi Maqasidiha

Pengertian kaidah bahwa hukum islam yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (Mukallaf) tergantung dari maksud dan tujuan perkara tersebut (Niat). Dalam perbuatan ibadah khusus , niat adalah merupakan rukun , sehingg a menentukan  sah atau tidaknya suatu amal.
Niat juga merupakan pembeda tingkatan suatu ibadah , misalnya ibadah itu fardhu  atau sunnat. Juga merupakan pembeda antara ibadah dan bukan ibadah  yaitu amal kebiasaan.  Wudhu dan mandi, bisa berlaku sebagai ibadah , tetapi bisa juga sekedar mendinginkan atau membersihkannya. Tayammum bisa menjadi  pengganti wudhu (untuk hadast kecil) dan bisa juga untuh hadast besar (janabat). Hampis semua masalah – masalah fiqh kembali kepada kaidah pertama ini.

Al – Yakin la’ Yuzal bi asy- Syakk

Kaidah ini berarti bahwa keyakinana yang sudah mantap atau sealur denganya yaitu sangkaan yang kuat , tidak dapat dikalahkan oleh keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya akan tetapi ia hanya dapat dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.
Dari batasan ini dapat dipahami bahwa seseorang dapat dikatakan telah menyakini terhadapap suatu perkara , manakala terhadap perkara itu telah ada bukti keterangan yang ditetapkan oleh panca indra atau pikiran . dari kaidah ini Ulama Fiqih megembangkan kaidah lainnya di antarannya “al-ash bara’ah az-zimmah” pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab , maksudnya adalah pada dasarnya sesorang tidak dikenakan hukum atau tanggung jawab sebelum terbukti ia melakukan seatu kesalahan.

Ad – Dararu yuzal 

Kaidah ini dipergunakan ahli hukum islam dengan dasar argumetatif hadist Nabi “ tidak boleh member mudarat dan membalas kemudaratan. Kaidah ini dipergunakan para ahli hukum fiqih yang bersifa particular (furu) di antarannya betuk betuk khiyar dalam transaksi jual beli pembatasan wewenang (al-hijr) hak Syuf’ah (membeli pertama) oleh partner bisnis dan tetangga , hudud, ta’zir dan pembatasan kebebasan manusia dalam masalah kepemilikan atau pemanfaatan agar tidak meimbulkan bahaya bagi orang lain.

Al-Masyaqah Tajilib at-Taisiri 

Kaidah iini memiliki makna apabila suatu perintah yang harus dilaksanakan mengalami kesulitan dalam mengerjakannya , maka ketika itu muncul kelapangan. Kaidah ini juga didasarkan pada Hadist Nabi yang Artinnya “ Agama itu mudah “. Agama yang lebih disenangi Allah ialah yang benar dan mudah . dengan kaidah ini diharapkan agar syariat Islamdapat dilaksanakan oleh hamba kapan dimana saja, yakni dengan memberikan kelonggaran atau keringanan di saat seseorang menjumpai kesukaran atau kesempitan.

Al-‘adah Muhakhamah

Al adat Mukhakamat  ( adat dapat dihukumkan ) atau al-‘adat syariat muhakhamat (Adat merupakan syariat yang dapat dihukumkan) kaidah tersebut kurang lebih bermakna bahwa adat (tradisi) merupakan variable sosisal yang mempunyai otoritas hukum ( hukum islam ). Adat bisa mempengaruhi materi hukum, secara proposional. Hukum islam tidak memposisikan adat sebagai factor eksternal non implikatif , namun sebaliknya memberikan ruang akomondasi bagi adat. Kenyataan sedemikian inilah antara lain yang menyebabkan hukum islam bersifat fleksibel.

Manfaat Kaidah Hukum Islam

Berikut merupakan manfaat Kaidah-Kaidah Fiqih atau Kaidah Hukum Islam, antara lain:
Dengan kaidah – kaidah fiqh akan megetahui prinsip – prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalah yang dihadapai.
Dengan memperhatikan kaidah – kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah- masalah yang dihadapi .
Dengan kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi – materi dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
Meskipun kaidah – kaidah fiqh merupakan teori – teori fiqh yang diciptakan oleh ulama , pada dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al- Qur’an dan al sunnah , meskipun dengan cara yang tidak langsung.
Adapun kedudukan dari kaidah fiqh itu ada dua , yaitu ;

  • Sebagai pelengkap , bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok , yaitu al – Qur’an dan al – Sunnah.
  • Sebagai dalil mandiri , bahwa kaidah fiqh digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri , tanpa menggunakan dua daalil pokok.

Proses Dan Kegunaaan Kaidah Hukum Islam 

Proses pembentukan kaidah fikih ini terjadi antara lain didorong oleh karena adanya kebutuhan memahami materi ketentuan hukum(fikih) yang begitu banyak. dengan adanya kaidah fikih ini dharapkan persoalan- persoalan yang muncul di masyarakat, dapat memperoleh jawaban secara cpat dan tepat sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah, serta dengan metodologi (ushul fikih) yang akurat.
Dengan latar belakang tersebut, maka proses pembentukan kaidah fikih, sebagai mana dijelaskan A Djazuli, bermula dari sumber hukum Islam yaitu Al-Quran dan Hadis, kemudian muncul ushul fikih sebagai metodologi dalam penarikan hukum islam. Dengan menggunakan metodologi ushul fikih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fikih. Fikih ini banyak materinya. Dari materi fikih yang banyak tersebut kemudian diteliti persamaan dengan menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan, dan tiap- tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah- masalah yang serupa, akhirnya disimpulkan menjadi kaidah- kaidah fikih. Kaidah- kaidah ini bersifat sementara, lalu agar kaidah tersebut mapan, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan kritisasi terhadap kaidah- kaidah tadi dengan banyak ayat dan hadis, terutama kesesuaiannya dengan ayat Al-Quran dan Hadis nabi. Setelah proses kritisasi, maka barulah kaidah ini menjadi kaidah fikih yang mapan. Apabila sudah menjadi kaidah yang mapan, maka para ulama menggunakan kaidah tadi untuk menjawab persoalan- persoalan yang terjadi dalam masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya serta lainnya yang kemudian memunculkan fikih- fikih baru. Hasil dari jawaban terhadap ermasalahan tersebut kemudian menghasilkan fatwa- fatwa, yang kemudian sebagian dijadikan dasar oleh negara dalam menyusun peraturan perundang- undangan (Qanun).
2.3.1 Kegunaan kaidah- kaidah fikih
Berikut ini merupakan kegunaan kaidah-kaidah fikih, antara lain:

  • Untuk mengetahui asas- asas umum fikih.
  • Lebih mudah menetapkan masalah- masalah yang dihadapi
  • Lebih arif dalam menerapkan fikih sesuai dengan waktu dan tempat yang berbeda untuk keadaan dan adat kebiasaan yang berlainan.
  • Dapat memberikan jalan keluar dari berbagai perbedaan pendapat di kalangan ulama atau setidak- tidaknya menguatkan pendapat yang lebih mendekati kepada kaidah- kaidah fikih.
  • Akan mengetahui rahasia- rahasia dan semangat hukum- hukum Islam yang akan tersimpul dalam kaidah- kaidah fikih. 
  • Akan memiliki keleluasaan ilmu dan ijtihadnya mendekati kepada kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Prinsip dalam Hukum Islam

Kata prinsip berarti asas, yakni kebenaran yang menjadi pokok dasar orang berpikir, bentindak dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan prinsip-prinsip Hukum Islam ialah cita-cita yang menjadi pokok dasar dan landasan? Tumpuan Hukum Islam. Adapun prinsip-prinsip dalam hukum islam itu antara lain:
Meniadakan Kesempitan dan Kesukaran
Pada dasarnya manusia tidak suka akan pembebanan, baik secara fisik maupun secara mental. Apalagi dengan pembebanan Hukum Islam yang berat, secara otomatismanusia akan menolaknya. Sebenarnya Allah telah mengisyaratkan akan tabi’at manusia ini dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 286 yang artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Oleh karena itulah Allah menetapkan hukum islam sesuai dengan kadar kemampuan seseorang. Bahkan jika ada yang tidak sanggup dengan hukum yang telah ditetapkan itu, Allah juga memberikan kemudahan (dispensasi) dalam keadaan tertentu. Adapun contoh dari prinsip ini:
Orang yang sedang bepergian, sakit, dalam keadaan hamil, atau  menyususi, diperbolehkan tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Qs. Al-Baqarah: yang artinya
“Bagi siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (maka wajiblah ia berpuasa) sebanyak hari anng ditinngalkannya.”
Orang yang tidak kuat berdiri untuk mendirikan shalat, maka ia boleh melakukannya dengan duduk. Bahkan boleh melakukannya sesuai dengan kondisi tubuh seseorang. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad SAW. Yang artinya:
“Shalatlah kamu dengan berdiri , aka jika kamu tidak mampu berdiri duduklah”
Adapun landasan hukum bagi prisip ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 185, yang artinya:
“Allah menghendaki keringanan untukmu dan bukan pula menghendaki kesukaran”
Juga firman Allah dalam Qs. Al-Haj:78, yang artinya:
“Dan Allah tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan”
Sedikit Pembebanan
Prinsip ini mengisyaratkan bahwa pembebanan syariat atas manusia itu memang ada. Akan tetapi, syariat yang diurunkan. Dibebankan itu diterima apa adanya tanpa mempermasalahkannya atau mempertanyakan yang dapat menimbulkan kesukaran dan pemberatan atas pundak mukallaf terhadap kewajiban agama yang diembannya. Prinsip ini dilandasi oleh firman Allah dalam surat Al-Maidah: 101 yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu bertanya-tanya tentang sesuatu yang kalau diterangkan kepadamu akan menyusahkanmu, tetapu kalau kamu tanyakan (tentang ayat itu) pada waktu turunya, akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkanmu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyabar”
Ayat inilah yang menginstruksikan kepada manusia agar dapat menahan diri daripada mempertanyakan masalah yang tidak ada ketetapan hukumnya, misalnya pada waktu peraturan perundang-undangan belum diketahui, dan agar permasalahan itu dapat dipecahkan melalui kaidah-kaidah umum demi memberikan kelonggaran kepada manusia.

Bertahap dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, bukan sekaligus. Sebab mengingat potensi manusia yang sangat terbatas, sehingga ketika ada ayat yang telah diturunkan kemudian dipahami, barulah ayat yang diturunkan. Berkaitan erat dengan huum islam, ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum taklifpun diurunkan secara bertahap. Hal tersebut terjadi suatu pertimbangan dan kebiasaan manusia yang telah mendarah daging dalam kehidupannya dan sangat susah untuk dihilangkan.

Secara psikologi manusia tidak akan menerima sesuatu yang baru atau asing. Sehingga harus memahami pertahap agar tidak menimbulkan konflik, ketegangan dan kesulitan batin. Begitulah yang terjadi pada bangsa Arab dahulu. Ketika Islam datang, adat istiadat mereka begitu kental sehingga sulit untuk diubah. Sebagai contoh adalah ditetapkannya hukum keharaman meminum khamar sampai tiga tahap, yakni:

  • Tahap pertama, diturunkannya Qs. Al-Baqarah: 219 . Ayat ini tidak secara langsung menyatakan keharaman khamar, dan tidak pula mengharuskan untuk meninggalkannya, melainkan hanya mengabarkan  sedikit manfaat dan banyak mudharat yang pada hakikatnya perbuatan yang haram adalah yang paling banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya.
  • Tahap kedua, diturunkannya Qs. An-Nisa’:43, dalam hal ini Allah melarang orang untuk mendirikan shalat dalam keadaan mabuk. Ayat ini juga belum mengharamkan khamar secara total melainkan hanya mengaitkan dengan shalat.
  • Tahap ketiga, diturunkannya Qs. Al-Maidah: 90 yang secara jelas mengharamkan khamar. Ayat ini diturunkan ketika orang-orang Arab pada waktu itu telah siap mental untuk menerima ketetapan hukum  khamar ini. Begitu juga dengan perbuatan zina. Para wanita yang melakukan prkatik perzinaan pada awalnya hanya diolok-olok atau dicibir, dihina dan diberi tahanan rumah. Hal ini tercantum dalam Qs. An-Nisa’: 15-16. Barulah setelah itu turun Qs. An-Nur:2 yang menjelaskan hukuman terhadap pelaku zina dengan dera seratus kali tanpa ada rasa belas kasihan.
Baca juga : TUJUAN HUKUM ISLAM

Memerhatikan Kemaslahatan Manusia
Penetapan hukum Islam atas manusia selalu memperhatikan kemaslahatan manusia.  Hal ini terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi suatu masyarakat. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan akan dapat diterima dengan lapang dada, dikarenakan kesesuaian akal dengan kenyataan yang ada. Maka dalam penetapan hukum itu selalu didasarkan kepada tiga sendi pokok, yaitu:

  • Hukum ditetetapkan setelah masyarakat membutuhkan hukum-hukum itu.
  • Hukum-hukum ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan hukum dan memudahkan masyarakat ke bawah ketetapannya.
  • Hukum-hukum ditetapkan menurut kadar kebutuhan masyarakat

Ibnu Qayyim berkata: “sesungguhnya syarat itu fondasi dan asasnya adalah hikmah dan kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupandunia maupun akhirat”
Sebagai contoh akibat yang pada mulanya di Baitul Maqdis, namun setelah enam belas bulan lamanya diperintahkan untuk menhadap ke Masjidil Haram. Begitu juga mengenai hukum wasiat. Pada mulanya hukum wasiat adalah wajib. Kemudian di-nasakh-kan dengan ayat-ayat. Tentang Faraidh yang terdapat Qs. An-Nisa: 11-12, 176.

Mewujudkan Keadilan

Manusia menurut pandangan islam adalah sama baik dihadapan Allah maupun dihadapan hukum tanpa melihat kepada tinggi rendahnya suatu jabatan seseorang, atau dari latar belakang apapun. Melainkan seoptimal dan semaksimal apa yang telah ia perbuat dengan hukum Allah itu sampai mendapat predikat takwa.
Adapun landasan hukum dari pada prinsip ini adalah firman Allah yang tertuang dalam Qs. Al-Maidah: 8 yang artinya:
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena berlaku adil itu lebih dekat kepada takwa.
Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Di antara peneliti di bidang kaidah ushul fiqh dan kaidah fikih menyatakan bahwa yang pertama kali membedakan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh adalah al-Qurafi, yang menyatakan bahwa, “syariah itu ada dua hak yaitu ushul dan furu’, sedangkan ushul terbagi menjadi dua hal, yaitu ushul fiqh dan kaidah-kaidah kuliyah fiqiyah”.
Lebih lanjut lagi Ali Ahmad al-Nadwi memerinci perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah kaidah fiqh.

  • Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkim secara benar. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalil lainnya. Seperti hukum asal dari perintah adalah wajib. Kata-kata larangan menunjukkan haram.
  • Kaidah ushul fiqh, meliputi semua bagian sedang kaidah fikih banyak bersifat aglabiyah (pada umumnya), sehingga banyak sekali pengecualiannya.
  • Kaidah ushul fiqh adalah cara cara untuk menggali hukum syara’ yang praktis, sedangkan kaidah fikh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada satu hakum yang sma. 
  • Kaidah-kaidah ushul muncul sebelum furu’, sedangkan kaidah fikih muncul secara furu’. 
  • Kaidah-kaidah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam berbagai macam dalil yang rinci yang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-dalil tersebut. Sedangkan kaidah fikh menjelaskan masalah fikih yang terhimpun dalam kaidah tadi.
  • Seperti yang dijelaskan oleh abu Zahra bahwa kaidah-kaidah ushul adalah metode yang digunakan oleh ahli hukum Islam agara dia tidsk salah dalam menentukan hukum, dengan menggunakan kaidah-kaudah ushul dia bisa menghasilkan hukum-hukum fikih yang sangat rinci atau disebut furu’. Disinilah ada perbedaan antar yang umum (kaidah-kaidah ushul) dengan furu’ atau fikih sebagai hasil dari penggunaan kaidah-kaidah ushul tadi. Sedangkan kaidah-kaidah fikih muncuk dengan cara meneliti/ istiqra terhadap fikih yang rinci.
  • Sedangkan kaidah-kaidah ushul adalah hasil penelitian ahli ushul fiqh dan terdapat di dalam kitab kitab ushul fiqh, sedangkan kaidah-kaidah kitab fikih adalah hasil hasil penelitian fuquha (ahli fiqh) dan terdapat di dalam kitab-kitab kaidah fikih atau kitab kitab fikih.


Kesimpulan

Kaidah hukum islam adalah sebuah studi keilmuwan yang bersifat terbuka dan tidak ekslusif, sehingga siapapun bisa dengan mudah mempelajari dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, yang walaupun mudah dipelajari, tetapi sulit dibidangi kecuali oleh golongan tertentu.
Mempelajari kaidah fiqh sama saja dengan mempelajari bangunan-bangunan terbentuknya hukum fiqh. Hanya saja langkah yang ditempuh berbeda, yakni bahwa ilmu kaidah fiqh mengiring persoalan-persoalan juz’iyah (parsial-partikuar) ke dalam bentuk kulliyah (universal-fundamental). Sementara, ilmu-ilmu keislaman lain, umumya menggiring setiap persoalan dari sisi kulliyah menuju telaah juz’iyyah.

Baca juga : Akal dan Wahyu dalam Islam

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad syukri, 2013, filsafat hukum Islam, ( Jakarta : Raja Grafindo Indonesia).
Suparman Usman, Itang, 2015, filsafat Hukum Islam,( serang baru : Laksita Indonesia).
Djazuli, 2019, kaidah-kaidah hukum islam dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis, (Jakarta : prenamedia group).
Abdul Haq dan Ahmad Mubarok, 2005, “Formulasi Nalar Fiqh”, Kediri: Santri Salaf Press.