Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Teori – Teori Hukum Pidana


Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan untuk menentukan tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai sebab dari munculnya akibat yang dilarang. Jan Remmelink, mengemukakan bahwa yang menjadi fokus perhatian para yuris hukum pidana adalah apa makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas suatu akibat tertentu. Dalam hal ini, selain sudut pandang pembuat undang-undang, kepatutan dan kepantasan (billijkheid en redelijkheid) akan memainkan peran penting. Terlihat kemudian, bahwa pembuat undang-undang mendukung pandangan dominan yang diterima oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari: disebut adanya kausalitas apabila kejadian A, baik secara fisik maupun psikis, berpengaruh terhadap kejadian B yang muncul sesudahnya, dan bahwa untuk munculnya kejadian B, kejadian A harus terjadi lebih dahulu, sehingga akibat B tersebut tidak dapat dianggap sebagai ‘kebetulan’ belaka.

Artikel lainnya: USAHA PEMBAHARUAN DALAM HUKUM PIDANA DAN PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA

Tidak mudah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai sebab terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, karena suatu akibat dapat timbul disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Ilustrasi kasus hipotesis di bawah ini bisa menggambarkannya : A dan B berkelahi. Dalam perkelahian tersebut B yang berpenyakit jantung terkena pukulan yang mengenai kepalanya sehingga terlihat tidak sadarkan diri, melihat kejadian itu A kabur. Lima belas menit setelah A Kabur, melintas C (seorang tukang becak) yang segera memberikan pertolongan kepada B. C dibantu dengan beberapa orang menaikkan B ke dalam becaknya. Dalam keadaan tergesa-gesa C segera membawa B ke rumah sakit terdekat, ketika hendak menyeberang jalan becak yang dikendarai C tertabrak mobil E, sehingga B dan C terlempar ke tepi jalan. E sebagai warga masyarakat yang baik membawa mereka ke sebuah rumah sakit, sesampai di rumah sakit petugas medis tidak segera memberikan pertolongan terhadap B dan C, dua puluh menit kemudian B meninggal dunia.
Kausalitas dijadikan sebagai “filter” dalam membangun pertanggungjawaban pidana seseorang. Sebagai filter, kausalitas akan menyaring apa saja perbuatan-perbuatan faktual yang dilakukan oleh pelaku, setelah perbuatan faktual terjaring selanjutnya akan dicari perbuatan hukumnya. Dengan menemukan perbuatan hukumnya maka seseorang akan dapat diminta pertangggungjawabannya.

Dalam menganalisis ada tidaknya kausalitas dalam sebuah tindak pidana maka ada pandangan yang mengatakan bahwa yang pertama dianalisis adalah faktor-faktor atau alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya sebuah peristiwa pidana. Faktor-faktor ini bisa dianalisis dari beberapa kecenderungan diantaranya adalah kondisi (causa sine qua non), apakah faktor tersebut dapat diterima akal atau tidak, apakah ada kemungkinan lain yang dapat dinilai, kedekatan peristiwa tersebut dengan peristiwa lainnya (adequacy). Apakah faktor-faktor tersebut cukup jelas dan didefinisikan dalam sebuah sistem hukum atau tidak? Jika tidak didefinisikan maka dapat dibuat kriteria tambahan yang dapat diprediksikan.


Rumusan Masalah

  • Apa yang dimaksud teori Condotio Sine Qua Non ?
  • Apa yang dimaksud teori menggeneralisas ?
  • Apa yang dimaksud teori yang mengindividualisasi?
  • Apa yang dimaksud teori objektiv nachtragaliche prognose ?
  • apa yang dimaksud Teori relevansi ?

Tujuan Penulisan

  • untuk mengetahui maksud dari teori Condotio Sine Qua Non
  • untuk mengetahui teori menggeneralisasi 
  • untuk mengetahui teori yang mengindividualisasi
  • untuk mengetahui teori objektiv nachtragaliche prognose
  • untuk mengetahui Teori relevansi



PEMBAHASAN

Teori Condotio Sine Qua Non

Teori ini berasal dari von buri, seorang ahli hukum jerman. Ajaran ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873. Ajaran ini menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat. Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk yang menjadi penyebabnya. Teori ini disebut juga dengan teori ekivalensi(aquivalelenz-theori), disebut dengan teori ekivalensi, karena ajaran Von Buri ini menilai semua faktor adalah sama pentingnya terhadap timbulnya suatu akibat. Dengan ajaran yang dikemukakan oleh Von Buri ini, maka menjadi diperluasnya pertanggungjawaban dalam hukum pidana.

Ajaran ini mempunyai kelemahan, yaitu pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Walaupun teori ini memiliki kelemahan yang mendasar, tetapi dalam praktiknya di negeri Belanda pernah juga dianut oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan, yang menyatakan bahwa “untuk dianggap sebagai suatu sebab daripada suatu akibat,perbuatan itu tidak perlu bersifat umum atau normal” (Satochid: 451) dikutip dari Adami Chazawi (2002: 219). Bersifat umum atau normal maksudnya ialah bahwa faktor yang dinilai sebagai penyebab itu tidaklah perlu berupa faktor yang menurut perhitungan yang wajar dan kebiasaan yang berlaku dapat menimbulkan akibat, asalkan ada kaitannya dalam rangkaian peristiwa yang menimbulkan akibat, karena semuanya dianggap faktor penyebab.

Ajaran Von Buri ini masih mempunyai kelemahan, untuk mengatasi kelemahan tersebut maka van Hammel seorang penganutnya melakukan penyempurnaan dengan menambahkan ke dalam ajaran Von Buri, ialah tentang ajaran kesalahan. Menurut Van Hammel ajaran Von Buri sudah baik, akan tetapi haruslah diperbaiki lagi dengan ajaran tentang kesalahan (Schuldleer). Bahwa tidak semua orang yang perbuatannya menjadi salah satu faktor diantara rangkaian sekian faktor dalam suatu peristiwa yang melahirkan akibat terlarang harus bertanggung jawab atas timbulnya kibat terlarang itu. Melainkan apabila pada diri si pembuatnya dalam mewujudkan tingkah laku yaitu terdapat unsur kesalahan baik kesengajaan maupun kealpaan. Ajaran ini merupakan dasar dari ajaran tentang hubungan kausalitas (sebab–akibat), karena kenyataannya berbagai ajaran kausalitas bermunculan dan berkembang yang merupakan penyempurnaan atau masih berkaitan dengan ajaran kausalitas Von Buri.

Menurut Von Buri dalam Sudarto, tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat baik positif maupun negative untuk timbulnya suatu akibat adalh sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan tidak akan mungkin terjadi suatu konkrit, seperti yang senyata nyatanya menurut waktu, tempat dan keadaan. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke doktet, dalam perjalan ia tertimpa genting kemudian mati. Menurut teori condition sine qua non penganiayaan ringan terhadap si A itu juga merupakan sebab dari kematiansi A.

Teori yang menggeneralisasi

Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan daengan timbulnya akibat tadalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat (AdamChazawi, 2007: 222). Jadi mencari faktor penyebab dan menilainya tidak berdasarkan pada faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman pada umumnya menurut akal dan kewajaran manusia atau disebut secara abstracto, tidak secara inconcreto. Penggunaan teori ini dapat diberikan contoh ialah, karena jengkel pada bawahannya yang berbuat salah, bawahannya itu ditamparnya dengan tangan kosong yang secarawajar menurut akal dan pengalaman orang pada umumnya tidak akan menimbulkan kematian, akan tetapi kemudian korban pingsan dan meninggal.
Menurut teori ini,kematian bawahan ini bukan disebabkan oleh perbuatan menampar oleh atasannya, karena secara wajar dan skal serta pengalaman orang pada umumnya perbuatan menampar tidaklah akan menimbulkan akibat kematian. Kematian itu bisa saja disebabkan oleh penyakit jantung atau darah tinggi yang diderita oleh korban. Perbuatan menampar hanya sekedar faktor syarat belaka.
Persoalannya adalah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umumnya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat. Karena permasalahan ini, maka teori menggeneralisasi masih dibagi atas beberapa teori-teori yang akan dikemukan di bawah ini

Teori Adequate Subyektif

Teori ini dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequate(sebanding) atau layak dengan akibat yag timbul, yang faktor mana diketahui atau disadari oleh pembuat sebagai adequate untuk menimbulkan akibat tersebut. Jadi dalam teori ini faktor subyektif atau sikap batin sebelum si pembuat berbuat adalah amat penting dalam menentukan adanya hubungan kausal. Orang yang menaruh puntung rokok di jerami yang kering, dia telah lebih dahulu mengetahui atau secara patut dapat menduga akan mengakibatkan terbakarnya jerami. Oleh karena ajaran Von Kries dalam mencari faktor penyebab itu adalah pada dibayangkannya dapat menimbulkan akibat, maka disebut juga dengan teori subjective prognose(peramalan subjektif). Yaitu si pembuat telah mengetahui akibatnya sebelum perbuatan dilakakukan.
Teori ini, bukan teori kausalitas yang murni, karena di dalamnya tersimpul penentuan tentang unsur kesalahan pada diri si pembuat. Dalam hal untuk menentukan suat akibat dari suatu perbuatan dengan melihat pada syarat dapatnya membayangkan atau mengerti bahwa dari perbuatan itu dapat menimbulkan suatu akibat, pada dasarnya juga mengenai hal untuk menentukan kesalahan dari si pembuat. Dengan demikian juga termasuk tentang pemberian pertanggung jawaban (Toer keningsvatbaarheid) dalam hukum pidana (Sudarto, 1990: 71).

Teori Adequate Objektif

Ajaran objektif adequate ini tidak memperhatikan bagaimana sikap batin si pembuat sebelumberbuat, akan tetapi pada faktor-faktor yang ada setelah (post factum) peristiwa senyatanya beserta akibatnya terjadi, yang dapat dipikirkan secara akal(objektif) faktor-faktor itu dapat menimbulkan akibat. Tentang bagaimana sikap batin si pembuat sebelum ia berbuat tidaklah penting, melainkan bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya. Teori ini dipelopori oleh Rumelin yang ajarannya disebut dengan teori obyectife nachtragliche prognose atau peramalan yang objektif, karena dalam mencari kausa dari suatu akibat pada faktor objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat. Menurut rumusan Moeljatmo (1978: 74), bahwa kalau ukuran yang dipakai Rumeling bukan ramalan, tetapi menetapkan mesti timbulnya akibat, maka beliau sependapat dengan teori Rumeling. Jadi Menurut Moeljatmo, bahwa akibat itu dengan mengingat keadaan-keadaan objektif yang ada pada saat sesudah terjadinya dapat ditetapkan secara harus atau mesti terjadi. Ukuran itu juga merupakan logika yang dicapai menurut pengetahuan yang objektif. Teori Rumelin menerima suatu anasir objektif, yaitu yang menjadi causar adalah faktor yang setelah terjadinya delik, umum diterima sebagai factor yang menyebabkan terjadinya delik tersebut.

Teori yang mengindividualisasi

Teori-teori yang mengindividualisir ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret. Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka diantara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat tehadap timbulnya akibat, sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab. Penganut teori ini adalah Birkmeyer dan Karl Binding.

Menurut Birkmeyer (teorinya disebut dengan de meest werkzame factor), yang menyatakan tidak semua fator yang tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret (post factum) adalah merupakan fakto yang paling dominan atau paling kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat.

Karl Binding, dengan teorinya yang disebut ubergewichts theorie, yang menurut beliau bahwa di antara berbagai faktor itu, faktor penyebabnya adalah faktor yang terpenting dan seimbang atau sesuai dengan akibat yang timbul. Bahwa dalam peristiwa yang menimbulkan akibat, akibat itu terjadi oleh karena faktor yang positif yaitu faktor yang menyebabkan akibat lebih unggul daripada faktor yang negative atau faktor yang bertahan/meniadakan akibat. Yang disebut sebab adalah syarat-syarat positif dalam mengungguli (in ihrem ubergerwich) terhadap syaratsyarat yang bertahan (negatif). Satu-satunya faktor sebab (cusa) adalah faktor syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif tadi. Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang mengindividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu:
a. Dalam kriteria untuk menentukan faktor mana yang memunyai pengaruh yang paling kuat
b. Dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul 24 Kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian ahli hukum terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah teori-teori lain.

Artikel lainnya: JENIS-JENIS PIDANA

2.4 Teori Objektif nachtragliche prognose
Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah factor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi.
Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi, walau bagaimanpun akibat harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan objektif setelah terjadinya delik, ini merupakan tolak ukur logis yang dicapai melalui perhitungan yang normal.

 –   Locus Delicti dan Tempus Delicti
Mempelajari tempat dan waktu dilakukannya suatu tindak pidana sebenarnya berhubungan dengan hukum acara pidana. Locus delicti/ tempat dilakukan tindak pidana yaitu  untuk menentukan hukum mana atau  pengadilan mana yang berwenang mengadili. sedangkan tempus delicti / waktu dilakukan tindak pidana ialah waktu memberlakukan hukum  pidana yang mana, yang baru atau yang lama yang harus diperlukan.

Hal ini berhubungan dengan  kemungkinan perubahan perundang-undangan mengenai tempus delicti.. dapat dihubungkan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP. hukum pidana berlaku ke depan tidak boleh berlaku surut ( Non Retro Aktif). Asas ini Retro aktif tidak mutlak berlaku karena ada ketentua dalam pasal 1 ayat (2) KUHP. contoh : peraturan  lama ancaman hukuman lima tahun, sedangkan peraturan baru ancaman hukuman tiga tahun.
Teori Relevansi

Teori relevansi diikuti oleh Langenmeijer dan Mezger. Teori ini tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, seperti teori menggeneralisir dan teori mengindividualisir, tetapi dimulai dengan menginterpretasi rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang dilarang dicoba untuk menentukan kelakuan-kelakuan apakah kiranya yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. Jadi jika pada teori menggeneralisir dan teori mengindividualisir yang menjadi pertanyaan penting adalah: adakah kelakuan ini menjadi musabab dari akibat yang dilarang. Maka pertanyaan paling penting pada teori relevansi adalah: pada waktu undang-undang menentukan rumusan delik itu, kelakuan-kelakuan yang manakah yang dibayangkan olehnya dapatmenimbulkan akibat yang dilarang?. Jan Remmelink mengemukakan bahwa sejumlah penulis antara lain van Hamel dan Langemeijer, yang pada dasarnya ingin menerapkan ajaran von Buri dalam kajian tentang ihwal kausalitas sebagaimana dimunculkan dalam teks perundang-undangan dan sejumlah ketentuan yang mengandung asas-asas lain, jadi atas dasardata yang (setidaknya menurut pandangan mereka) terletak di luar kausalitas memilih satu atau lebih sebab dari sekian banyak sebab yang mungkin ada. Oleh karena itu, mereka memilih sebab-sebab yang relevan saja, yakni yang kiranya dimaksudkan sebagai sebab oleh pembuat undang- undang. Karena itu pula, pembuat undang-undang, berkenaan dengan penganiayaan yang menyebabkan matinya orang lain, akan menerapkan kualifikasi bahwa  luka yang diderita (sekalipun dengan cara yang sulit diduga sebelumnya) tetap membuka kemungkinan matinya orang lain.

 Kesimpulan

Teori Condotio Sine Qua Non, teori ini berasal dari von buri, seorang ahli hukum jerman. Ajaran ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873. Ajaran ini menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat. Menurut teori ini, tidak membedakan mana faktor syarat dan yang mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk yang menjadi penyebabnya. Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan daengan timbulnya akibat tadalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Teori-teori yang mengindividualisir ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu beserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret.

Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah factor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi.
Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Teori relevansi diikuti oleh Langenmeijer dan Mezger. Teori ini tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, seperti teori menggeneralisir dan teori mengindividualisir, tetapi dimulai dengan menginterpretasi rumusan delik yang bersangkutan.

Artikel lainnya: PENAFSIRAN ATAU INTERPRETASI UU PIDANA / KUHP

DAFTAR PUSTAKA

Yogi Triyono,2017, Penerapan Ajaran Kausalitas Terhadap Tindak Pidana Yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang , (Medan : Fakultas Hukum Sumatera Utara 20).
Ahmad Sofian,2016, Ajaran Kausalitas dalam R KUHP (Jakarta Selatan : Institute For Criminal Justice Reforn).
dewi lumban, 2016, penerapan sanksi pidana terhadap pengemudi kendaraan bermotor roda dua yang karena kelalaian mengakibatkan matinya orang, ( Universitas Andalas )
abintoro prakoso, Kriminologi dan hokum pidana (pengertian, Aliran, teori dan perkembangannya).  Jember.