Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana


Hukum pidana adalah sebuah aturan – aturan yang mempunyai sanksi kurungan, putusan bebas, putusan pidana, dan lepas dari tuntutan pidana. Tindak pidana merupakan penderitaan baik berupa fisik maupun psikis, ialah perasaan tidak senang, sakit hati, amarah, tidak puas, terganggunya ketentraman batin.hal ini bukan dirasakan oleh pelaku kejahatannya saja, akan tetapi semua masyarakat pada umumnya. Untuk itu perlu diberikan balasan yang setimpal (sudut objektif) kepada pelakunya.

Artikel lainnya: JENIS-JENIS PIDANA 

Penerapan hukum atau  suatu perundang – undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakuykannya. Berlakunya hukum pidana menurut waktu mempunyai arti penting bagi penentuan saat kapan terjadinya perbuatan pidana. Ketentuan tentang berlakunya hukum pidana menurut waktu dapat dilihat dari pasal 1 KUHP.
Selanjutnya berlakunya undang – undang hukum pidana menurut tempat mempunyai arti penting bagi penentuan tetntang sampai dimana berlakunya hukum pidana suatu negara itu berlaku apabila terjadi perbuatan pidana. Ketetntuan tentang asas berlakunya hukum pidana ini dapat dilihat dalam pasal 2 sampai dengan 9 KUHP.

Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok pikiran yang tertuang dalam latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas disini adalah:

  • Bagaimana berlakunya Hukum Pidana menurut waktu?
  • Bagaimana berlakunya Hukum Pidana menurut tempat?
  • Locus Delicti dan Tempos Delicti

 Tujuan Pembahasan

Adapun yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah iniantara lain adalah:

  • Untuk mengetahun pengertian Hukum Pidana.
  • Untuk mengetahui berlakunya Hukum Pidana menurut tempat dan waktu\
  • Mengetahui apa yang dimaksud Locus Delicti dan Tempos Delicti


Pembahasan

A. Asas Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.

Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada)
Adagium ini menganjurkan supaya :
1)    Dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
3)    Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya
Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :
1)    Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2)    Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3)    Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a) Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan (formil).
b) Tidak diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
c) Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan (Hukum tidak tertulis).
d)    Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (lex Certa).
e)    Tidak boleh Retroaktif (berlaku surut)
f)     Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
g) Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT DAN ORANG
Teori tentang ruang lingkup berlakunya tentang hukum pidana nasional menurut tempat teradinya. Perbuatan (yuridisi hukum pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut negara ada 2 dua pendapat yang meliputi :

  • Perundang-undangan berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas teritorial).
  • Perundang undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan di luara wilayah negara. Maka pandangan ini disebut menganut asas-asas personal atau prinsip nasional aktif.

Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat dan orang :

  • Asas teritorial

Asas ini diatur dalam KUHP yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan :
Ketentuan pidana dalam prundang-undangan indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di indonesia.
Perluasan di asas teritorial ini diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan:
Ketentuan pidana perundang-undangan indonesia berlaku bagi setiap orang yang diluar wilayah indonesia melakukan tindak pidana didalam kendaraan air atau pesawat udara indonesia.
Asas personal (nasional aktif)
Pasal 5 KUHP menyatakan:
(1). Ketentuan pidana dalam perundang-undangan indonesia diterapkan bagi warga negara yang diluar indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang disebut dalam Bab I dan Bab II buku kedua dan pasal-pasal 160,161,279,450,dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundag-undagan indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan dengan pidana.
(2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melaukan perbuatan. Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “ diterapkan bagi warga Negara indonsia yang diluar wilayah indonesia ’’ , Sehingga seoah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif).
Karena ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga negara diluar wilayah teritorial wilayah indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional.

  • Asas perlindungan (Nasional Pasif)

Asas nasional pasif ialah suatu asas yang memeberlakukan KUHP terhadap siapa baik WNI maupun WNA yang melakukan perbuatan pidana diluar wilayah indonesia. Jadi yang di utamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Asas ini menentukan bahwa hukum pidana suatu negara (juga indonesia) berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan dilauar negeri, jika karena itu kepentingan tertentu terutama kepentingan negara dilanggar diluar wilayah kekuasaan negara itu. Asas ini tercantum didalam pasal 4 ayat 1,2, dan 4 KUHP. Disini yang dilindungi bukanlah kepentinga individual orang indonesia, akan tetapi kepentingan nasional atau kepentingn umum yang lebih luas. Jika orang indonesia menjadi korban delik diwilayah negar lain, yang dilakukan oleh orang asing , maka hukum pidana orang indonesia tidak berlaku. Diberi kepercayaan kepada setiap negara unruk menegakkanhukum diwilayahnya sendiri.

  • Asas Universal.

Asas  universal adalah asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan pidana dapay dituntut undang-undnag hukum pidana indonesia diluar wilayah negara untuk kepentingan hukum bagi seluruh dunia.
Asas ini diatur dalam pasal 4 sub ke 2 KUHP : “ suatu kejahatan mengenai matau uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau Bank, ataupun mengenai materi yang dikeluarkan dan merel yang digunakan oleh pemerintah indonesia ’’.

Artikel lainnya: HUKUM PERKAWINAN DAN KELUARGA DALAM UU No:1 TAHUN 1974

C. LOCUS DELICTI DAN TEMPOS DELICTI

1. LOCUS DELICTI
Locus memiliki arti lokasi atau tempat , secara istilah adalah berlakunya hukum pidana yang dilihat dar segi lokas terjadinya perbuatan pidana. Locus delicti perlu diketahui untuk beberapa hal berikut :
Menentukan apakah hukum pidana Indonesa tetap berlaku atau tidak terhadap hukum pidana tersebut.
Mengatur atau menentukan kejaksaan dan pengadilan mana yang harus imengurus perkaranya.
Menurut Van Hamel Locus delicti adalah :

  • Tempat dimana seorang pelaku melakukan perbuatannya
  • Tempat dimana alat yang digunakan oleh pelaku itu bekerja
  • Tempat dimana akibat langsung dari suatu tindakan tersebut
Berikut adalah teori-teori Locus delicti
  • Teori Materieel
  • Teori Alat
  • Teori Akibat

  • Teori Perbuatan Materiel

Dalam teori ini dijelaskan bahwa yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana atau Locus Delicti didasarkan perbuatan secara fisik. Oleh karena itu ajaran ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana adalah tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.

  • Teori Alat (Instrumen)

Menurut teori alat , yang menjadi atau yang dianggap sebagai tempat locus delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak pidana.

  • Teori Akibat

Teori ini  mengatakan bahwa yang dianggap atau yang menjadi tempat pidana adalah tempat dimana akibat daripada tindak pidana tersebut timbul.

2. TEMPOS DELICITI
Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana adapun tujuan diketahuinya tempus delicti adalah sbb :
untuk keperluan kadaluarsa dan hak penuntutan
untuk mengetahui apakah pada saat itu sudah berlaku hukum pidana atau belum
apakah si pelaku sudah mampu bertanggung jawab atau belum
Tinjauan Umum Tempus Delicti
Tempus Delicti : yaitu berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana. Mengenai penentuan soal waktu (tempus delicti) dalam undang-undang hukum pidana tidak dijelaskan secara rinci serta tidak ada ketentuan khusus yang mengaturnya, padahal keberadaan tempus delicti perlu, demi untuk:
Menentukan berlakunya hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yakni “tidak ada perbuatan yang dapat dihukum selain atas kekuatan peraturan pidana dalam undang-undang yang diadakan pada waktu sebelumnya”. Dalam hal apakah perbuatan itu adalah perbuatan yang berkaitan pada waktu itu sudah dilarang dan dipidana. Jika undang-undang dirubah sesudah perbuatan itu tejadi, maka dipakailah aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Menentukan saat berlakunya verjarings termijn (daluwarsa) sehingga perlu diketahui saat yang dianggap sebagai waktu permulaan terjadinya kejahatan.
Menentukan hal yang berkaitan dengan Pasal 45 KUHP. Menurut pasal ini hakim dapat menjalankan tiga jenis hukuman terhadap tersangka yang belum genap berumur 16 tahun, yakni:
mengembalikan kepada orang tuanya.
menyerahkan kepada pemerintah dengan tidak menjatuhkan hukuman.
menjatuhkan  hukuman yang diancamkan terhadap kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Teori-teori Tempus Delicti
Teori-teori tempus delicti menurut Satochid Kartanegar (2000:158)
Teori perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
Ialah teori yang menjelaskan kapan suatu delik dilakukan oleh tersangka.
Teori bekerjanya alat yang digunakan (de leer van het instrumen)
Menjelaskan mengenai kapan suatu alat yang digunakan untuk melakukan suatu delik itu diaktifkan dan berakhir hingga memberikan akibat bagi korbannya, misalnya: racun, bom dan sebagainya.
Teori akibat (de leer van het gevolg)
Menjelaskan mengenai kapan akibat mulai timbul ketika terjadi suatu tindak pidana .
Teori waktu yang jamak (de leer van de meervoudige tijd)
Menjelaskan mengenai kapan terjadinya tindak pidana berdasarkan perbuatan fisik dan akibat yang ditimbulkan.

Kesimpulan

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Perundang undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di wilayah negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan di luara wilayah negara. Maka pandangan ini disebut menganut asas-asas personal atau prinsip nasional aktif.
Locus memiliki arti lokasi atau tempat , secara istilah adalah berlakunya hukum pidana yang dilihat dar segi lokas terjadinya perbuatan pidana. Tempus delicti adalah waktu terjadinya tindak pidana.

Artikel lainnya: DINAMIKA POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Daftar Pustaka

Kitabpidana.blogspot.com/2012/04/ruang-lingkup-berlakunya-hukum-pidana.html?m=1
http://blog.ubac.id/layyiny/2013/12/01/asas-asas-berlakunya-hukum-pudana
Moeljatno.2008.Asas Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipat.
http://edyspangandaran.blogspot.com/2017/09/pengertian-locus-delicti-dan-tempos-htm?m=1