Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Asas-asas Hukum Pidana


Asas-asas hukum pidana merupakan landasan asas hukum  sebagai alasan bagi lahirnya peraturan-peraturan hukum pidana. Apabila kita sekarang sampai pada pembicaraan mengenai asas-asas hukum, maka pada saat itu kita membicarakan unsur penting dari peraturan hukum.
Ilmu pengetahuan tentang hukum pidana dapat dikenal beberapa asas yang sangat penting untuk diketahui, karena dengan asas-asas yang ada itu dapat membuat suatu hubungan dan susunan agar hukum pidana yang berlaku dapat dipergunakan secara sistematis, kritis, dan harmonis.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis akan membahas tentang asas-asas hukum pidana.

Artikel lainnya: JENIS-JENIS PIDANA 

Rumusan Masalah

  • Bagaimana penjelasan tentang Asas Legalitas?
  • Bagaimana penjelasan tentang Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan?
  • Bagaimana penjelasan tentang Asas Teritorial?
  • Bagaimana penjelasan tentang Asas Nasionalitas Aktif?
  • Bagaimana penjelasan tentang Asas Nasionalitas Pasif?


Tujuan penulisan




  • Mengetahui penjelasan tentang Asas Legalitas
  • Mengetahui penjelasan tentang Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
  • Mengetahui penjelasan tentang Asas Teritorial
  • Mengetahui penjelasan tentang Asas Nasionalitas Aktif
  • Mengetahui penjelasan tentang Asas Nasionalitas Pasif

PEMBAHASAN

2.1. ASAS LEGALITAS

Asas legalitas tercantum di dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Kalau kata-katanya yang asli dalam bahasa belanda disalin ke dalam bahasa indonesia kata demi kata, maka akan berbunyi;’ tiada suatau perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang undangan pidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang undangan pidana yang mendahuluinya.
Perlu pula diperhatikan bahwa dengan istilah feit itu disalin orang juga dengan kata “ peristiwa” karena dengan istilah feit itu meliputi baik perbuatan yang melanggar sesuatu yang dilarang oleh hukum pidan maupun mengabaikan sesuatu yang diharuskan.
Penerapan hukum pidana atau suatu perundang undangan pidan berkaitna dengan waktu dan temoat perbuatan dilakukan. Berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hikum pidana dari segi lain. Menurut Hazenwinkel-suringa, jika sesuatu perbuatan (feit) yang mencocoki rumuan delik yang dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang bersangkutan, maka bukan saja hal itu tidak dapat dituntut tetapi untuk orang yang bersangkutan sama sekali tidak dapat dipidana.
 Asas legalitas yang tercatu, didalam pasal 1 ayat 1KUHP dirumuskan didalam bahasa latin “ nulum delicytum nulla poena sine praevia legi poenali”  yang dapat disalin ke dalam bahasa indonesia kata demi kata;” tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”, sering juga di pakai bahasa latin; “ nullum crimen sine lege stricta” yang dapat disalin kata demi kata pula dengan “ tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas”. Ketentuan seperti ini telah dimasukkan ke dalam kode penal KUHP prancis yang ,mulai berlaku 1 maret 1994 yang menetapkan;” la loi penale es d interoretation stricte” (hukum pidana harus di tafsirkan secara ketat/strict”
 Ada dua hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut;
Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum dalam undang-undang pidana.
Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dlam pasal 1 ayat 2 KUHP.

Moeljatno menulis bahwa asas legalitas itu mengandung tiga pengertian;
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi(kiyas)
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

2.2. TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN

Asas tiada pidana tanpa kesalahan atau asas kesalahan mengandung pengertian bahwa seseorang yang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum pidana yang berlaku, tidak dapat dipidana oleh karena ketiadaan kesalahan dalam perbuatan tersebut. Asas ini termanisfestasikan dalam pasal 6 ayat 2 UU no. 4 tahun2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang menentukan bahwa ‘ tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali, apabila  pengadilan karena alat pembuktian yang shah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana, yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana akan tetapi, bagaimana pengaruh asas ini dalam memidana korporasi, meskipun diposisikan sebagai subjek tindak pidana tapi tidak bisa disamakan dengan manusia, korporasi pada dasarnya tidak termasuk kategori manusia sehingga korporasi tidak memiliki hak layaknya manusia.
Mengenai hal tersebut terdapat beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya, menurut supratpo, korporasi dapat memiliki kesalhan, yaitu badan-badan bisa didapat kesalahan bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya, kesalahan itu tidak bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebgai suatu kolektiviter. Sementara mengenai asas tiada kesalahan atau asas kesalahan korporasi, khususnya menyangkut pertaggug jawaban korporasi, supratpo pada intinya mengemukakan bahwa tidaklah mungkin badan hukum dipertanggung jawabkan atas perbuatan orang lain yang di lakukan dengan sengaja, hal ini tidak mungkin karena pada badan hukum tidak ada unsur kesengajaan, Barda narwawi arief juga mengemukakan bahwa untuk dapat dipertanggugjawabkan suatu badan hukum, prinsip atau asas kesalahan tanpa tindak pidana ditinggalkan.

2.3. ASAS TERITORIALITAS

Prinsip ini menganggap hukum pidana indonesia berlaku di dalam wilayah Repulik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. Hal ini di tegaskan dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di wilyah indonesia. Kini terjelma dalam kedaulatan negara indonesia di dalam wilayahnya, dengan demikian pula orang-orang asing yang berada dalam wilayah Indonesia takluk pada hukum pidana Indonesia.
Prinsip teritorialitas ini diperluas oleh 3 KUHP sampai kapal-kapal indonesia, meskipun berada diluar wilayah Indonesia. Maka dengan demikian siapa saja, juga orang-orang asing, dalam kapal-kapal laut Indonesia, meskpun sedang berada atau berlayar dalam wilayah negara lain, takluk pada hukum pidana Indonesia.
Hal ini mengartikan bahwa siapa saja yang melakukan tindak pidana didalam atau diatas suatu kapal indonesia, meskipun berada dalam wilayah laut negara lain, misalnya sedang berlabu di suatu dermaga pelabuhan negara asing dapat dituntut oleh jaksa dan dihukum oleh pengadilan negara Indonesia.
Hal ini tidak dapat mengurangi kemungkinan bahwa dalam negara asing tersebut, menurut peraturan negara asing tersebut. Seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut juga dapat dihukum oleh pengadilan dari negara asing tersebut. Jikalau terjadi, maka seorang pelanggar hukum pidana tersebut tidak akan diadili oleh pengadilan negara Indonesia, yaitu menurut pasal 76 ayat 2 KUHP berdasar asas ne bis in idem.
Hal tersebut dapat dimengerti apabila diingat bahwa berdasar atas pasal 2 KUHP  apabila seorang asing diatas kapal asing dalam suatu pelabuhan indonesia melakukan tindak pidana., maka orang tersebut juga dapat dihum oleh pengadilan negara Indonesia. Dengan demikian pembentuk undang-undang di indonesia tidak menganut ship is teritorial yang berarti bahwa suatu kapal dengan bendera negara tertentu dianggap wilayah negara tersebut, dimanapun kapal itu berada.
Dalam suatu aturan undang-undang .
Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Terdapat dalam pasal 95 KUHP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “kapal indonesia” adalah kapal yang menurut undang-undang yang bersangkutan dapat mendapatkan surat laut (zeebrief) atau surat kapal (scheepspas) untuk dapat berlayar dengan memakai bendera indonesia. Terdapat pula pada pasal 311 kitab undang-undang hukum dagang (wethboek van koophandel) mengatakan bahwa kapal indonesia adalah kapal yang dianggap demikian dalam undang-undang tentang surat laut dan surat kapal tersebut, yaitu hal yang termuat dalam staatsblad 1934-78 junto 1935-56, mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1935.
Menurut pasal 2 ayat 1 undang-undang tersebut, kapal Indonesia adalah:
Yang dimiliki oleh seseorang atau lebih warga negara Indonesia
Yang dimiliki dua pertiga bagian oleh seorang atau lebih penduduk Indonesia, dengan syarat bahwa pemegang buku (boekhouder) dari kapal itu (kalau ada) harus seorang warga indonesia yang berdiam di Indonesia.
Ayat 2 dari pasal 2 itu menyebutkan bebrapa macam perkumpulan yang masuk istilah warga negara indonesia selaku pemilik dari kapal itu, yaitu pokok perseroan firma, perseroan komanditer, perseroan terbatas (naamlooze vennotschap), perkumpulan atau badamnhukum lain,serta yayasan yang para pengurusnya dan para pemegang saham adalah warga indonesia.
Dapat dianggap merata suatu pendapat yang memperlakukan pasal 3 KUHP ini secara analogi terhadap pesawat-pesawat terbang indonesia. Jika prinsip teritorialitas mengandung asas bahwa berlakunya hukum pidana indonesia terbatas pada wilayah negara indonesia, maka sebentarnya prinsip ini diperluas lagi dalam pasal-pasal 4,5,7 dan 8 KUHP, tetapi secara terinci keempat pasal ini dalam ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada tiga prinsip lain, yaitu pada :
Prinsip nasional-aktif (actief nationaliteits-begiensel juga dinamakan personaliteits -begeinsel)
Prinsip nasional pasif (passief nationaliteits-begeinsel)
Prinsip universalitas (universaliteits-begeinsel).

Artikel lainnya: USAHA PEMBAHARUAN DALAM HUKUM PIDANA DAN PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA

Arti kapal-kapal Indoneisa
Terdapat dalam pasal 95 KUHP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah “kapal indonesia” adalah kapal yang menurut undang-undang yang bersangkutan dapat mendapatkan surat laut (zeebrief) atau surat kapal (scheepspas) untuk dapat berlayar dengan memakai bendera indonesia. Terdapat pula pada pasal 311 kitab undang-undang hukum dagang (wethboek van koophandel) mengatakan bahwa kapal indonesia adalah kapal yang dianggap demikian dalam undang-undang tentang surat laut dan surat kapal tersebut, yaitu hal yang termuat dalam staatsblad 1934-78 junto 1935-56, mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1935.
Menurut pasal 2 ayat 1 undang-undang tersebut, kapal Indonesia adalah:
Yang dimiliki oleh seseorang atau lebih warga negara Indonesia
Yang dimiliki dua pertiga bagian oleh seorang atau lebih penduduk Indonesia, dengan syarat bahwa pemegang buku (boekhouder) dari kapal itu (kalau ada) harus seorang warga indonesia yang berdiam di Indonesia.
Ayat 2 dari pasal 2 itu menyebutkan bebrapa macam perkumpulan yang masuk istilah warga negara indonesia selaku pemilik dari kapal itu, yaitu pokok perseroan firma, perseroan komanditer, perseroan terbatas (naamlooze vennotschap), perkumpulan atau badamnhukum lain,serta yayasan yang para pengurusnya dan para pemegang saham adalah warga indonesia.
Dapat dianggap merata suatu pendapat yang memperlakukan pasal 3 KUHP ini secara analogi terhadap pesawat-pesawat terbang indonesia. Jika prinsip teritorialitas mengandung asas bahwa berlakunya hukum pidana indonesia terbatas pada wilayah negara indonesia, maka sebentarnya prinsip ini diperluas lagi dalam pasal-pasal 4,5,7 dan 8 KUHP, tetapi secara terinci keempat pasal ini dalam ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada tiga prinsip lain, yaitu pada :
Prinsip nasional-aktif (actief nationaliteits-begiensel juga dinamakan personaliteits -begeinsel)
Prinsip nasional pasif (passief nationaliteits-begeinsel)
Prinsip universalitas (universaliteits-begeinsel).

2.4. ASAS NASIONAL AKTIF

Asas nasional aktif atau unsur nasional aktif prinsip ini dianut dalam pasal 5 KUHP yang berbunyi:
Ketentuan-ketentuan hukum pidana indonesia berlaku bagi warga negara indonesia yang berada diluar wilayah negara indonesia  bersalah melakukan :
Kesatu: salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam titel 1 dan 2 buku II dan dalam pasal-pasal 160,161,240,279,450 dan 451.
Kedua: suatu tindak pidana yang menurut hukum pidana indonesia masuk golongan “kejahatan”, dan yang menurut hukum pidana dari negara tempat tindak pidana itu dilakuan, diancam pula dengan hukuman pidana dari negara tempat tindak pidana itu dilakukan, diancam pula dengn hukuman pidana.
Penuntutan kejahatan-kejahatan tersebut dalam sub kedua juga dapat dilakukan apabila sitersangka baru setelah melakukan tindak pidana menjadi warga negara Indonesia.
Prinsip ini dinamakan nasioal-aktif  karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang nasional atau warga negara.
Golongan kesatu dari kejahatan-kejahatan ini adalah :
Dari titel 1 dan 2 buku II yang meliputi kejahatan-kejaatan erhadap keamanan negara (misdrijven tegen de waardigstaat), seperti pemberontakan,makar, usaha membunuh kepala keluarga, dan terhadap kedudukan kepala negara(misdrijven tegen de waardigheid van president), seperti menghina kepala negara,menyerang kepala negara dengan fisik.
Dari pasal 160 dan 161 KUHP yang berupa penghasutan (opruiing) untuk melakukan tindak pidana.
Dari pasal KUHP 240yang berupa tindak memenuhi kewajiban dalam bidang pertahanan negara.
Dari pasal 279 KUHP yang berupa tidak memenuhi kewajiban melebihi jumlah yang diperbolehkan (double huwelijk).
Dari pasal 450 dan 451 KUHP yang berupa turut serta, tanpa pemerintah indonesia, dalam kapal dinas negara asing yang melakukan pengambilan kapal-kapal lain.
Kejahatan-kejahatan ini sangat penting bagi negara republik indonesia, tetapi sekiranya tidak termuat dalam hukum pidana dari negara asing sehingga pelaku-pelakunya tidak akan dihukum apabila kejatan tersebut dilakuka oleh warga negara indonesian itu tersendiri, orang tersebut layak dianggap layak dihukum juga meskipun kejahatan dilakukan diwilayah negara asing.
Lainhalnya dengan golongankejahatan yang terkandung dalam pasal 5 ayat 1 sub kedua. kejahatan seperti ini dihukum juga menurut hukum pidana negara asing jika dilakukan di negara asing tersebut. Apabila kejahatan disana dilakukan oleh warga negara indonesia, dengan itu pemerintah indonesia tidak akan diserahkan kepada pemerintah negara asing yang bersangkutan. Dengan demikian orang tersebut akan bebas dari hukuman pidana dan dianggap tidak layak. Maka adanya kemungkinan bahwa orang tersebut akan dihukum oleh pengadilan indonesia. dan, dapat dapat dimengerti juga bahwa penentuan ini berlaku pula apabila seorang pelaku kejahatan itu baru kemudian menjadi warga negara indonesia.
Akan tetapi terdapat sedikit pembatasan yang termuat dalam pasal 6 KUHP yang menentukan bahwa hukuman mati tidak boleh dijatuhkan oleh pengadilan di indonesia, apabila kejatahan yang yang bersangkutan menurut hukum pidana negara asing yang bersangkutan tidak diancam dengan hukum mat. perluasan dari asas ini ada pada pasal 7 KUHP sampai semua pegawai negara indonesia yang melakuakn “kejahatan-kejahatan jabatan” (ambstmisdriven), termut dalam titel XXVIII dari buku II KUHP diluar wilayah negara indonesia . jadi pegawai negara indonesia yang bukan WNI juga termasuk dalam penentuan pasal ini .

2.5. ASAS NASIONAL PASIF

Prinsip ini memperluas berlakunya ketentuan-ketentuan hukum pidana indonesia diluar wilayah indonesia berdasar atas kerugian nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejatan sehingga siapa saja termasuk orang asing yang melakukan suatu hal dimana saja, pantas dapat dihukum oleh pengadilan negara indonesia. Jadi, selanjutnya ada unsur melindungi kepentingan nasional terhadap siapa saja yang dan dimana saja.
Ini tentunya hanya terlaksana apabila pelaku itu dapat diawa wilayah indonesia. Orang-orang asing, warga negara dari negara tempat tindak pidana dilakukan, sukar akan diserahkan kepada pemerintah indonesia karena biasanya pemerintah suatu negara tidak akan menyerahkan warga negaranya sendiri kepada pemerintahan negara asing.
Prinsip nasional pasif ini termuat dalam pasal 4 ke-1,2 dan 3 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
Salah satu dari kejahatan-kejahatan yang termuat dalam pasal 104-108, 110-111 bis sub 1, 127,130-133
Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas tau mengenai segel atau merek yang dikeluarkan oleh pemerintah indonesia.
Suatu pemalsuan dalam surat-surat hutang (schuldbrieven) atas beban atau pemalsuan dalam tanda-tanda divinden atau bunga dari surat-surat hutangitu, atau dengan sengaja mempergunakan surat-surat yang dipalsukan tersebut.
Dari ketiga ayat tersebut menjelaskanlayak bahwa hanya ada sedikit kejahatan yang dikenakan prinsip nasonal pasif ini, yaitu yang berat saja dari title 1 dan 2 buku II KUHP, kemudian pemalsuan uang Indonesia, pemalsuan segel dari indonnesia, dan pemalsuan surat-surat hutang atas beban indonesia atau daerahnya.
Prinsip nasional pasif ini diperluas oleh pasal 8 KUHP sampai pengemudi dan para penumpang kapal indonesia yang diluar wilayah indonesia, diluar kapal,jadi di daratan wilayah negara asing, melakukan “kejahatan pelayaran”, kemudian dalam ttel XXIXbuku II KUHP dan “pelanggaran pelayaran”termuat dalam titel IX buku III KUHP.
Adapula kepentingan nasional yang bersangkutan langsung dengan pelayaran dan perlu dilindungi. Menurut pasal 93 ayat 2 KUHP, istilah “penumpang” (opvarendem) meliputi semua orang yang ada didalam kapal tersebut. Perluasan prinsip nasional ini juga justru mengenai tindak pidana yang dilakuakn diluar kapal (buiten boord) didaratan suatu wilayah pelabuhan asing maka penumpang harus diartikan sebagai anak kapal. Sebaliknya tindak pidana diluar kapal yang kini dimaksud harus ada hubunganya dengan kapal yang bersangkutan, tidak dengan kapal lain yang juga berlabuh disitu.

Artikel lainnya: PIDANA DAN PEMINDANAAN