Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PIDANA DAN PEMINDANAAN


Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad keberadaannya banyak diperdebatkan para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan demikian adalah hal yang wajar karena manusia akan selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal tertentu demi meningkatkan kesejahteraannya dengan mendasarkan diri pada pengalamannya di masa lampau.
Sistem pemidanaan di Indonesia diatur secara terkodifikasi melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP menjadi dasar utama dari kedudukan berbagai jenis pidana yang dapat diterapkan di Indonesia.

Artikel lainnya: USAHA PEMBAHARUAN DALAM HUKUM PIDANA DAN PENAFSIRAN UNDANG-UNDANG PIDANA

 pidana penjara merupakan pidana yang sangat digemari oleh para perumus undang-undang dalam merumuskan ancaman pidana maupun oleh para hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana di kehidupan bermasyarakat. Pidana penjara dianggap menjadi satu-satunya pidana yang paling efektif untuk memberikan efek jera pada pelaku tindak pidana. Pada hukum positif Indonesia sendiri, jenis pidana ini merupakan jenis pidana terbanyak yang diancamkan dalam berbagai ketentuan pidana.

KUHP selain mengenal perampasan kemerdekaan sebagai sanksi pidana juga mengenal pidana denda sebagai salah satu jenis pidana pokok. Pidana denda pada mulanya adalah hubungan keperdataan yaitu ketika seseorang dirugikan, maka oleh menuntut ganti kerugian yang jumlahnya bergantung pada besarnya kerugian yang diderita, serta posisi sosialnya yang dirugikan itu.
Dari penjelasan di atas, penulis ingin membagikan sedikit pengenalan mengenai  orientasi Hukum Pidana

Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Pidana dan Pemindanaan ?
2. Apa Tujuan dari Pemindanaan ?
3. Apa Saja Jenis-Jenis Sanksi Pidana ?

Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Pidana dan Pemindanaan
2. Untuk mengetahui apa tujuan dari pemindanaan itu
3. Untuk mengetahui apa jenis-jenis sanksi Pidana

PEMBAHASAN

Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Menurut sejarah, istilah pidana secara resmi dipergunakan oleh rumusan Pasal VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk peresmian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sekalipun dalam Pasal IX-XV masih tetap dipergunakan istilah hukum penjara.
Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestrqft” dan menggunakan istilah non konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggatikan kata “woedt gestrqft”. Menurut beliau, kalau “straf” diarikan “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti “diterapi hukum” baik hukum pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah hasil atau akibat dari pene-rapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana sebab mencakup juga keputusan hakim dalam hukum perdata
.Pengertian tentang pidana dikemukakan oleh beberapa pakar Belanda,yaitu:
a. Van Hamel menyatakan bahwa arti daripidana atau Straf menurut hukum positif adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus oleh yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-matakarena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
b. Menurut Simons, pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.
c. Menurut Alga Jassen, pidana atau straf adalah alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atasa nyawa, kebe-basan, atau harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan tindak pidana.
Dari tiga buah rumusan mengenai pidana di atas dapat diketahui, bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka. Ini berarti bahwa pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan.
Pidana di satu sisi tidak hanya dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar atau membuat jera, tetapi di sisi yang lain juga agar membuat pelanggar dapat kembali hidup bermasyarakat sebagai layaknya.
Hal tersebut perlu dijelaskan, agar di Indonesia jangan sampai terbawa arus kacaunya cara berpikir dari para penulis di negeri Belanda, karena mereka itu seringkali telah menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berpikir penulis Belanda itu, secara harafiah telah menerje perkataan doel der straf dengan perkataan tujuan dari pidana, padahal yang dimaksud dengan perkataan doel der straf itu sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.
Pemindaan itu sendiri dikemukakan oleh beberapa pakar, yaitu:
a. Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan kata penghukuman. Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar tentang hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang yang kerapkali senonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.
b. Andi Hamzah menyatakan bahwa pemidanaan disebut juga sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana atau penghukuman. Dalam bahasa Belanda disebut strafoemeting dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing.

Artikel lainnya: Teori – Teori Hukum Pidana

 Tujuan Pemidanaan 

Pemidanaan adalah penjatuhan pidana, atau pengenaan penderitaan pada seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pengenaan penderitaan merupakan sesuatu yang tidak baik/tidak benar (melanggar HAM/sesuatu yang tidak bermoral) walaupun dilakukan atas nama negara, maka dicarilah pembenarannya (dari berbagai dasar pembenaran maka diketahui dasar filosofinya), pembenarannya akhirnya diletakkan pada alasan untuk apa pemidanaan tersebut diberikan (inilah yang berkembang menjadi teori/falsafah pemidanaan).
Dari berbagai macam teori yang berkembang tentang tujuan pemidanaan, maka dapat dikelompokkan menjadi :
a. pembalasan (retributif)
1. Tujuan pidana adalah semata-mata pembalasan
2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat
3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana
4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar
5. Pidana melihat ke belakang; ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.
b. tujuan (utilitarian)
1. Tujuan pidana adalah pencegahan
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat
3. Hanya pelangaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku (dengan sengaja atau alpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana
4. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujunnya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan
5. Pidana melihat ke depan, pidana dapat mngandung unsur pencelaan, tetapi unsur pencelaan dan pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan demi kesejahteraan masyarakat.
Ada tujuan lain selain pembalasan yang lebih bermanfaat (memasukkan tujuan retributif ke dalam upaya pencegahan pidana diterima karena pengaruh memperbaiki). Berbagai teori tentang pencegahan khusus ini, seperti teori behavioral deterrence (rehabilitation dan incapasitation) yang membuat si terpidana agar tidak mampu melakukan perbuatan lagi dengan jalan memenjarakannya ataupun menghukum mati (khusus bagi pelaku kejahatan yang dianggap sudah tidak bisa dibina lagi).
Teori Gabungan, teori gabungan merupakan gabungan dari teori pembalasan dengan teori tujuan. Pidana dijatuhkan karena seseorang telah melakukan kejahatan (pembalasan), tetapi tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan (pembalasan yang adil), disamping itu pemidanaannya juga harus memberikan perbaikan dan pengaruh baik pada masyarakat. (Peligrino Rossi) Teori gabungan dapat dibagi menjadi tiga golongan :
1.Teori gabungan yang menitik beratkan pada teori pembalasan, tetapi tidak boleh melebihi batas yang diperlukan untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat. Makna tiap hukuman adalah pembalasan, tetapi maksud dari hukuman adalah untuk melindungi tata hukum (Hormat terhadap hukum dan pemerintah) adanya keseimbangan antara teori pembalasan dan teori tujuan.
2.Teori gabungan yang lebih menitik beratkan pada usaha untuk mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (hukuman tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan). Thomas Aquinas “kesejahteraan umum menjadi dasar hukum perundang-undangan”. Pidana yang dijatuhkan adalah untuk melindungi/menjaga ketertiban yang dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat. Tetapi karena pidana dijatuhkan pada seseorang yang melakukan kesalahan (kesengajaan) maka harus pula ada pembalasannya. Intinya hukum pidana harus memberikan kepuasan pada masyarakat.
3.Teori gabungan yang menghendaki adanya keseimbangan antara teori pembalasan dan teori tujuan
2.3. Jenis-Jenis Sanksi Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam Pasal 10. Ada dua macam jenis pidana yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok menurut Pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut :
a. Pidana Mati
b. Pidana Kurungan
c. Pidana Denda.
Adapun bentuk pidana tambahannya dapat berupa :
a. Pencabutan beberapa hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu dan
c. Pengumuman keputasan hakim.
Demikian, sesuai dengan ketentuan pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan. Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untukmenentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.
Hal tersebut senada dengan pendapat Djoko yang mengemukakan bahwa :
“Salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil.”
Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikan kemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya.

Kesimpulan

Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “woedt gestrqft” dan menggunakan istilah non konvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggatikan kata “woedt gestrqft”. Menurut beliau, kalau “straf” diarikan “hukuman” maka “strafrecht” seharusnya diartikan “hukum hukuman”.
Pemidanaan adalah penjatuhan pidana, atau pengenaan penderitaan pada seseorang yang melanggar hukum oleh petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam Pasal 10. Ada dua macam jenis pidana yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok menurut Pasal 10 KUHP

Artikel lainnya: ILMU BANTU DALAM HUKUM PIDANA

DAFTAR PUSTAKA

Sofyan, Andi dan Nur Azisa. (2016)."Hukum Pidana". Makassar: Pustaka Pena Press
Utama, Arya. (2016). "Buku Ajar Hukum Pidana". Denpasar: Dekan Fakultas Universitas Udayana
Hamzah, Andi. (2016). "Pedoman Pemindanaan", Jurnal Vol.7 No.1 (Jakarta)