Akal dan Wahyu dalam Islam
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum.. Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1986: 1).
Baca juga : SUMBER HUKUM ISLAM
Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian akal dan wahyu?
2. Apakah pengertian akal dan wahyu dalam hukum islam?
Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang digunakan maqasid as-syari’ah atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup manusia, dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya al-‘aql (intellect), dan keyakinan (ad-din). Dalam hal ini wahyu merupakan sumber pengetahuan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah SWT.
Manfaat Penulisan
Agar kita dapat dapat mengetahui pengertian dari Akal dan wahyu.
Agar dapat mengetahui pengertian akal dan wahyu dalam hukum islam
Pembahasan
A. Pengertian Akal dan Wahyu
Pengertian Wahyu
Wahyu berasal dari kata Arab Al-Wahy, Artinya suara,api dan kecepatan. Di samping itu wahyu juga mengandung makna bisikan,isyarat ,tulisan dan kitab. Selanjutnya al-wahyu mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Namun dari sekian banyak arti itu, wahyu lebih dikenal dengan arti “apa yang disampaikan Allah kepada para Nabi”. Dengan demikian dalam kata wahyu terkandung arti penyampaian Firman Allah kepada orang pilihan-Nya agar dapat diteruskan kepada umat manusia khususnya dan segala apa yang ada di alam semestaumumnya untuk dapat dijadikan pegangan hidup. Firman Tuhan itu mengandung ajaran,petunjuk dan pedoman yang di perlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Pengertian akal
Kata akal yang sudah menjadi kata dalam bahasa berasal dari bahasa arab Al-Aql artinya pikiran atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenan dengan ilmu pengetahuan). Dalam bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk yaitu akal pikiran.
Perkataan akal dalam bahasa asalnya mengandung pengertian di antaranya mengikat dan menahan, ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Para ahli filsafat dan ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya (kekuatan,tenaga). Untuk memperoleh pengetahuan,daya yang membuat seorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang lain, daya untuk mengabstrakan benda yang ditangkap oleh panca indera.
Para ahli fiqh telah memandang akal sebagai sumber utama menyangkut hal yang tidak ada penjelasana nya dari syara’. Dan untuk ukuran ini akal telah mereka tetapkan secara khusus untuk hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan perorangan dan masyarakat di dalam segenap lapangan kehidupan, Dan allah lah yang memberi petunjuk, dan juga syara’ itu adalah akal dari luar, dan akal adalah syara’ dari dalam,keduanya adalah saling menopang bahkan menyatu.
B.Pengertian Wahyu dan Akal dalam Hukum Islam
Akal dan Wahyu Dalam khazanah hukum Islam, perbicangan tentang akal dan wahyu merupakan lahan yang cukup banyak mendapat perhatian dan pembahasan. Pembahasan ini dilakukan oleh ulama dalam berbagai bidang keilmuan, baik teologi, filsafat, maupun hukum Islam itu sendiri. Tujuan penggunaan wahyu dan akal adalah untuk mendapatkan kebenaran. Kata Akal mempunyai pengertian mengerti, memahami, dan berpikir, atau daya pikir untuk mengerti. Akal dalam pandangan Islam tidaklah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya . Lafaz yang senada dengan akal adalah alra`y yang berarti pendapat dan pertimbangan. Orang yang memiliki pertimbangan dan pendapat yang bijaksana disebut dzu al-ra`y. Misalnya pendapat dan pertimbangan yang diambil Rasulullah ketika memilih tempat yang akan dijadikan lokasi perkemahan pada waktu perang Badar yang didasarkan kepada pertimbangan al-ra`y, bukan berasal dari wahyu .
Teolog muslim mengartikan akan sebagai daya untukmemperoleh pengetahuan. sebagaimana dikutip Harun Nasution, mengartikan akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda yang satu dengan benda lainnya. Sebagian tokoh Mu’tazilah mengartikan akan sebagai petunjuk jalan bagi manusia dan membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri .
Secara tegas Qadhi Abdul Jabbar merumuskan akal itu sebagai sekumpulan ilmu tertentu yang apabila dimiliki oleh seseorang manusia, maka ia akan dapat berfikir, mencari dalil dan melakukan apa yang dibebankan kepadanya. Adapun kata wahyu dalam bahasa aslinya dapat berarti isyarat, ilham, dan sebagainya , dan biasanya didefinisikan dengan apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi-Nya. Dalam konteks ini, wahyu yang disampaikan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril mengambil bentuk al-Qur`an dengan menggunakan media bahasa Arab. Dengan kata lain, wahyu dalam Islam dipahami sebagai teks-teks Arab al-Qur`an yang diterima Nabi Muhammad SAW dari Jibril
Kajian-kajian filosofis tentang akal dan wahyu terutama membicarakan otoritas dan peranan akal ketika berhadapan dengan wahyu. Dalam otoritas dipersoalkan derajat kebenaran yang diperoleh melalui penggunaan nalar, apakah ia sampai kepada kedudukan yang sama dengan wahyu atau berada di bawah wahyu. Kalau tingkat kebenaran yang diperoleh melalui akal atau nalar itu dipandang sama kedudukannya dengan kebenaran yang diperoleh melalui wahyu, seperti apa fungsi akal dalam hal ini. Ketika kebenaran yang dihasilkan nalar dipandang lebih rendah daripada kebenaran yang diperoleh melalui wahyu, bagaimana pula fungsi nalar terhadap wahyu. Bagi filosof muslim, hal ini telah diperdebatkan secara mendalam sehingga mengkristal ke dalam dua kubu; yaitu kubu yang sampai pada kesimpulan bahwa kebenaran yang dihasilkan akal sama benarnya dengan kebenaran yang dihasilkan oleh wahyu; dan kubu yang meletakkan kebenaran yang diperoleh akal berada di bawah kebenaraan wahyu. Adapun dalam konteks ilmu kalam terdapat empat persoalan yang menjadi fokus pembahasan, yaitu mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban mengetahui adanya Tuhan, mengetahui baik dan buruk serta kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan buruk
Dalam konteks kajian hukum Islam atau syariah, persoalan akal dipertanyakan, apakah akal mampu untuk mengetahui ketentuan-ketentuan Allah, baik berupa kewajiban atau larangan tanpa melalui petunjuk-petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Masa sebelum datangnya wahyu tersebut disebut juga dengan zaman fitrah. Dalam kondisi demikian terjadi perbedaan pendapat ulama. Kelompok Mu’tazilah, yang tidak mengakui adanya fase fitrah, mereka mengatakan bahwa akal mampu untuk mengetahui baik dan buruknya sesuatu, maka ketika itu tetap ada taklif. Konsekwensinya, setiap orang akan mendapatkan pahala ketika ia berbuat baik, dan sebaliknya berdosa ketika ia berbuat buruk. Hal ini antara lain karena urusan pahaladan dosa adalah urusan akhirat, dan siapa yang lalai dari kewajiban-kewajibannya yang sebenarnya dapat diketahui oleh akalnya meskipun belum ada nash, maka ia tetap akan disiksa di akhirat. Kelompok ulama Maturidiyah, walaupun mereka mengakui adanya fase fitrah dan akal mampu untuk mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, tetapi kemampuan akal terbatas. Oleh karena itu tidak semua hal yang baik dan buruk itu diketahui oleh akal. Namun sejauh mampu diketahui oleh akalnya, maka manusia harus melaksanakannya atau menjauhinya.
Baca juga : TUJUAN HUKUM ISLAM
Adapun berkenaan dengan pahala dan dosa menurut mereka bukanlah wewenang akal untuk menentukannya, tapi tetap diserahkan kepada Syari’ untuk menetapkannya. Adapun kelompok Asy’ariyah yang juga mengakui adanya fase fitrah berbeda pemikiran dengan Maturidiyah. Mereka berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan, yang mampu membedakan baik dan buruk itu adalah wahyu. Dengan demikian tidak ada pahala dan dosa, dan tidak ada keharusan orang untuk mengerjakan sesuatu ataupun menjauhi sesuatu perbuatan. Dari pendapat terakhir ini, wahyu merupakan pedoman untuk mengetahui suatu perbuatan dari sisi baik dan buruknya. Namun sesuai dengan perkembangan, di mana tidak semua aktifitas manusia ini disebutkan atau dijelaskan oleh wahyu, lalu apakah fungsi akal ketika wahyu sudah ada? Agaknya di sinilah letak permasalahan antara akal dengan wahyu ini. Apakah akal masih mampu secara mandiri menetapkan hukum atau hanya sebagai alat bantu dalam mengembangkan wahyu? Hal ini akan terasa setidaknya ketika hukum Islam berhadapan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai buah kemajuan produk pemikiran manusia modern.
Pemikiran ke arah ini pada akhirnya melahirkan ijtihad dengan berbagai metode di dalamnya. Secara garis besarnya terdapat dua model ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi. Pada ijtihad istinbathi, kerja akal biasanya dalam bentuk istiqra` (deduktif), yaitu mengeluarkan apa makna yang terkandung dalam nash, sehingga kebebasan akal sedikit tebatas. Berbeda halnya dengan ijtihad tathbiqi, kemampuan akal sangat diperhatikan dan harus sempurna, karena akal di sini dipergunakan untuk menerapkan sebuah ketentuan hukum yang sudah ada agar sesuai dengan kebutuhan manusia dan dapat menjamin lahirnya kemaslahatan. Kemampuan akal yang terbatas dan berbeda-beda antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainya menimbulkan pertanyaan apakah ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dapat terbebas dari kesalahan atau mungkin dapat dibenarkan seluruhnya? Hal ini pada akhirnya menimbulkan dua kecenderungan, yaitu
- teori mukhaththi`ah
- teori mushawwibah.
Teori mukhaththi`ah adalah sebuah pengakuan bahwa atas kemungkinan terjadinya kesalahan dalam berijtihad, sedangkan teori mushawwibah menegasikan kesalahan dari hasil ijtihad ulama tersebut atau semua ijtihad itu adalah benar.
Teori pertama dianut oleh kelompok ulama Syi’ah, sedangkan teori kedua dianut oleh umumnya ulama Sunni. Secara logis dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang dijelaskan oleh nash jumlahnya terbatas, sedangkan persoalan-persoalan selalu tidak terbatas. Persoalan-persoalan yang tidak dijeaskan oleh nash tentu saja menjadi lapangan ijtihad bagi ulama. Sepertinya Syari’ memberikan ruang itu kepada mujtahid untuk beraktifitas dan menetapkan hukum sesuai dengan kemampuan akalnya untuk melahirkan sebuah kemaslahatan yang relevan dengan sasaran yang hendak dituju oleh hukum.
Mengingat begitu banyaknya persoalan di dunia ini, tidak mungkin semuanya disebutkan oleh Allah dalam nash. Maka di sinilah peran mujtahid yang berusaha menemukan hukum sebagaimana yang dikehendaki dan diinginkan oleh Allah. Oleh karena itu hukum yang ditetapkan oleh mujtahid pada dasarnya juga merupakan hukum Allah, karena sumber pengambilannya dan penyandarannya juga kepada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam al-Qur`an dan Sunnah.
C. Hubungan Antara Akal dan Wahyu
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendah pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan Wahyu.Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun.
Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.
Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wahyu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.
KESIMPULAN
Tujuan penggunaan wahyu dan akal adalah untuk mendapatkan kebenaran. Kata Akal mempunyai pengertian mengerti, memahami, dan berpikir, atau daya pikir untuk mengerti. Akal dalam pandangan Islam tidaklah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia; daya memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendsh pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Baca juga : Kaidah-kaidah Hukum Islam
DAFTAR PUSTAKA
Ananda Arfa, Faisar. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis. 2007.
Busyro,,Filosofi Hukum Islam,Ponorogo: CV,Wade Grup,2016.
Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press. 1986.
Rozak, Abdul. Rosihon Anwar. Ilmu kalam. Bandung: Pustaka Setia. 2001.