Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

HUKUM PERKAWINAN DAN KELUARGA DALAM BUKU I KUHPerdata


Sebagai makhluk sosial setiap manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan itu terjadi sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Timbulnya hubungan antar manusia secara kodrati artinya makhluk hidup sebagai manusia itu dikodratkan untuk selalu hidup bersama. Melaksanakan kodrat hidup sebagai proses kehidupan manusia yang terjadi dilakukan sejak lahir sampai meninggal dunia. Bagi setiap manusia dikodratkan memiliki kekayaan diperoleh selama hidupnya yang akan diberikan kepada yang berhak untuk melanjutkan kalau telah meninggal dunia.
Manusia dikodratkan untuk selalu hidup bersama demi hidupnya, menimbulkan satu jenis hukum yang ketentuannya mengatur tentang kehidupan itu dan dinamakan hukum perdata (privat recht)”. Perkataan hukum perdata dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata materiil yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata materiil ini sering juga disebut “hukum sipil”, tetapi karena kata “sipil” lazim digunakan sebagai lawan dari kata “militer”, sebaiknya terhadap pemakaian istilah kita gunakan “hukum perdata” saja. Perkataan hukum perdata ada juga yang memberikan dalam arti sempit yaitu lawan dari hukum dagang. Sebenarnya kalau dilihat dari skematik lama yang dimaksud hukum perdata itu terdiri dari hukum sipil dan hukum dagang kurang dapat memberikan suatu kesatuan sistem keperdataan, karena pembagian itu hanya berdasar kepada pembagian undang-undang hukum perdata Belanda sebagai akibat dari sejarah pengkodifikasian sampai ada dua kitab undang-undang hukum dalam satu sistem kaidah hukum perdata.

Artikel lainnya: Hukum Pidana Khusus

Kalau dilihat dari kenyataan yang ada, maka sebenarnya hukum perdata di Indonesia terdiri dari: Pertama, hukum perdata adat yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan antar individu dalam masyarakat adat yang berkaitan dengan kepentingan perseorangan. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah kelompok sosial bangsa Indonesia. Ketentuan-ketentuan hukum perdata adat ini pada umumnya tidak tertulis dan berlaku secara turun menurun dalam kehidupan masyarakat adat. Kedua, hukum perdata Eropa yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum yang menyangkut mengenai kepentingan orang-orang Eropa dan orang-orang yang diberlakukan ketentuan itu. Ketiga, bagian hukum perdata yang bersifat nasional yaitu bidang-bidang hukum perdata sebagai hasil produk nasional. Bagian hukum perdata nasional yang dibuat itu misalnya hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Agraria yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

RUMUSAN MASALAH

  • Bagaimana Sejarah KUHPerdata Buku I ?
  • Siapa yang terdapat pada point-point dalam KUHPerdata Buku I ?

PEMBAHASAN

Sejarah KUHPerdata Buku I

Hukum perdata semula berasal dari bangsa Romawi yaitu lebih kurang 50 SM pada masa pemerintahan Yulius Caesar berkuasa di Eropah Barat yang sejak waktu itu hukum Romawi diberlakukan di Perancis walaupun bercampur dengan hukum asli yang sudah ada sebelum orang Romawi menguasai Galis (Perancis). Keadaan seperti ini terus berlangsung sampai pada masa pemerintahan Louis XV yaitu dengan diawalinya usaha kearah adanya kesatuan hukum yang kemudian menghasilkan suatu kodifikasi yang diberi nama “Code Civil Des Francois”7 pada 21 Maret 1804 yang kemudian pada 1807 diundangkan kembali menjadi “Code Napoleon”.Kodifikasi ini sangat berbau Romawi tetapi para penyusunnya banyak juga memasukkan kedalamnya unsur-unsur hukum asli yaitu hukum adat Perancis Kuno (hukum Jerman) yang telah berlaku di Eropah Barat sebelum orang-orang Romawi menguasai Perancis. Sebagai campuran ketiga di dalam isi Code Civil itu adalah hukum gereja atau hukum Katolik yang didukung oleh gereja Roma Katolik ketika itu. Pada 1811, Belanda di jajah oleh Perancis dan seluruh Code Civil yang memuat ketiga unsur yaitu hukum Romawi, Hukum German dan hukum Gereja diberlakukan di negeri Belanda dan oleh karena Indonesia pada waktu itu merupakan jajahan Belanda maka hukum perdata Belanda yang sebagian besar berdasarkan pada Code Civil itu diberlakukan pula untuk Indonesia sejak 1 Januari 1848 dengan Staatsblad tahun 1847 No. 23. Namun demikian, hukum perdata di Indonesia agak berlainan dengan hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda apalagi jika dibandingkan dengan Code Civil Perancis, hanya asas-asasnya banyak diambil dari Code Civil. Berlakunya hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia bertalian erat dengan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 golongan yaitu: (1) Golongan Eropa yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan azas-azas yang sama dengan hukum Belanda beserta anak keturunan mereka; (2) Golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa misalnya orang Arab, India dan Pakistan; (3) Mereka yang telah meleburkan diri dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Bumi Putera. Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang sampai sekarang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.8Mengenai hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan diatur dalam pasal 131 IS yang menentukan, bahwa: Pertama, bagi golongan Eropa berlaku hukum perdata dan hukum Dagang yang berlaku di Negara Belanda atas dasar azas konkordansi. Kedua, bagi golongan Timur Asing Tiongha berlaku hukum perdata yang diatur dalam BW dan Hukum Dagang yang diatur dalam KUHD (WvK ) dengan beberapa pengecuaian dan penambahan sebagaimana diatur dalam stablad tahun 1917 Nomor 129 jo Stb. Tahun 1925 Nomor 557. Pengecualian dan penambahan meliputi : (a) Upacara Perkawinan; (b) Pencegahan Perkawinan; (c) Kantor Pencatatan Sipil (Burgerlijk Stand); (d) Pengangkatan anak (adopsi); (e) Peraturan tentang kongsi. Bagi golongan timur asing bukan Tinghoa berlaku hukum perdata Eropa sepanjang mengenai hukum harta kekayaan sedang mengenai hukum kekeluargaan dan hukum waris tunduk pada hukum asli mereka sendiri. Hal ini diatur dalam Staatblad tahun 1924 Nomor 556 yang mulai berlaku sejak 1 Maret 1925. Ketiga, dari golongan bumi putra berdasarkan ketentuan pasal 131 ayat 6 IS berlaku hukum perdata adat yaitu keseluruhan peraturan hukum yang tidak tertulis tetapi hidup dalam tindakan – tindakan rakyat sehari –hari. Dalam pada itu hukum perdata adat masih belum seragam sesuai dengan banyaknya lingkungan hukum adat (adat rech skiringen) di Indonesia. Dalam pada itu, berdasarkan ketentuan pasal 131 ayat 2 IS peraturan–peraturan untuk orang Eropa dapat diberlakukan untuk golongan Indonesia asli/Timur Asing secara utuh maupun dengan perubahan–perubahan, untuk membuat peraturan baru yang berlaku untuk semua golongan bersama- sama dan diadakan penyimpangan–penyimpangan umum/masyarakat memerlukan. Pertama, beberapa ketentuan BW dan WvK yang dinyatakan berlaku bagi golongan bumi putra, yaitu: (a) Pasal-pasal tentang perjanjian kerja atau perburuhan (Ps. 1601- 1603 lama BW ); (b) Pasal – pasal tentang permainan dan perjudian pasal 1788- 1791 BW); (c) Pasal–pasal mengenai hukum laut (buku II titel IV KUHD Stb. 1933 Nomor 49). Kedua, beberapa peraturan yang berlaku bagi semua golongan (Gemeen schappelijk recht), yaitu: (a) Undang – undang Hak Pengarang (Auterswet St. 1912- 308); (b)Peraturan umum tentang koperasi (Stb. tahun 1933 Nomor 108); (c) Ordonansi pemberantasan riba (Stb. 938 No. 524); (d) Ordoonansi pengangkutan udara (Stb. 1939 No. 98). Ketiga, beberapa peraturan yang secara khusus di buat untuk orang Indonesia, yaitu: (a) Ordonansi perhimpuan Indonesia (Stb. 1939 No. 570 ); (b) Ordonansi maskapai andil Indonesia (Stb. 1939 – Nomor 569) dan (c) Ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (Stb. 1933 Nomor 74 jo S. 1933 Nomor 73).

Artikel lainnya: Asas-asas Hukum Pidana

Perubahan-perubahan terhadap Berlakunya KUH Perdata di Indonesia
Dalam mempelajari dan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum perdata perlu diperhatikan adanya ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia yang mempengaruhi dan mengubah isi serta berlakunya KUH Perdata di Indonesia. Dengan demikian dapat diketahui pasal-pasal mana yang dianggap tidak berlaku atau dicabut sehubungan dengan adanya peraturan-peraturan baru tersebut.Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tanggal 24 September 1960, Stb. tahun 1960 Nomor 104 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mencabut semua ketentuanketentuan mengenai hak-hak kebendaan yang bertalian dengan tanah dari buku II BW (KUHP) kecuali mengenai hipotek. Artinya semua ketentuan-ketentuan yang mengenai hak kebendaan yang bertalian dengan tanah mendapat pengaturannya di dalam hukum Agraria dan tidak menjadi obyek hukum perdata lagi. Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963 Nomor 3 Tahun 1963, beberapa pasal atau ketentuan dipandang tidak berlaku lagi, yaitu: (a) Pasal 108 –110 BW tentang ketidakwenangan bertindak seorang istri; (b) Pasal 284 ayat 3 BW tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari seorang wanita Indonesia; (c) Pasal 1682 BW tentang keharusan dilakukannya hibah dengan akte notaris; (d) Pasal 1579 BW tentang penghentian sewa menyewa dengan alasan akan memakai sendiri barang itu; (e) Pasal 1238 BW tentang pengajuan gugat pelaksanaan suatu perjanjian. (f) Pasal 1460 BW tentang resiko dalam perjanjian jual beli barang; dan (g) Pasal 1603 ayat 1 dan 2 BW diskriminasi orang Eropa dan bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan-peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam Undang-undang tersebut yaitu: (1) Ketentuan-ketentuan perkawinan dalam KUH Perdata (BW); (2) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Buwelijksor donantio chesten Indonesiers) seperti tercantum dalam Staatsblad tahun 1933 nomor 74; (3) Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Opde Gemengde Huwelijkken) seperti tercantum di dalam staatsblad tahun 1898 nomor 158; (4) Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan. Undang-undang no. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia telah mengantikan pengaturan tentang jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan ini digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-meminjam karena proses pembebanannya dianggap sederhana, mudah, dan cepat, tetapi tidak menjamin adanya kepastian hukum. Lembaga Jaminan Fidusia memungkinkan kepada para pemberi fidusia untuk menguasai benda yang dijaminkan, untuk melakukan kegiatan usaha yang dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan fidusia. Pada awalnya, Benda yang menjadi objek fidusia terbatas pada kekayaan benda bergerak yang berwujud dalam bentuk peralatan. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, benda yang menjadi objek fidusia termasuk juga kekayaan benda bergerak yang tak berwujud, maupun benda tak bergerak. Dalam perkembangannya selama ini, kegiatan pinjam-meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga hipotek atas tanah dan credietverband. Di samping itu, hak jaminan lainnya yang banyak digunakan pada dewasa ini adalah gadai, hipotek selain tanah, dan jaminan fidusia. Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia adalah Pasal 15 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, yang menentukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan jaminan fidusia. Selain itu, Undangundang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun mengatur mengenai hak milik atas satuan rumah susun yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara. Burgelijk Weetbook Baru Belanda (BWBB) telah berhasil diubah, dirombak, singkatnya dimodernisasi, sehingga dapat mengikuti perkembangan jaman, khususnya menunjang berbagai kegiatan kegiatan ekonomi dalam arti luas. Upaya perubahan dan modernisasi diawali dalam tahu 1947 dan baru berhasil akhir tahun 1992 dengan pengundangan BWBB yang dinyatakan berlaku mulai 1 januari 1992. buku 1 (orang dan keluarga) dan Buku 2 (Badan Hukum) sudah dinyatakan berlaku, yaitu berturut –turut tentang jual beli dan tukar menukar (koop en huur), pemberian kuasa (lestgeving), Penitipan (bewaargeving), dan penanggungan (borgtocht)9. Buku 7A akan memuat kontrak-kontrak khusus yang terdapat di dalam BW lama Belanda di luar BAB 1,7,9 dan 14 buku 7. Buku 8 tentang alat-alat angkut dan pengakutan (verkeermiddlen en vervoer) berisi Undang-undang pengangkutan yang dinyatakan berlaku sejak 1 April 1992 Dengan demikian, ternyata masih ada yang belum tuntas dalam kegiatan modernisasi tersebut, walaupun mereka mempunyai banyak tenaga ahli dengan dukungan dana serta fasilitas yang cukup, masih diperlukan waktu hampir limapuluh tahun. Bagaimana dengan Indonesia kelihatannya modernisasi hanya dapat dilakukan dengan membuat aturan hukum perdata secara parsial dalam undang yang mengatur secara khusus seperti Undang-undang Pokok Agraria, Undang-undang Perkawinan, Lembaga Hukum Jaminan fidusia dan dalam bidang hukum perdata yang lain.

Point-Point dalam KUHPerdata Buku I
BAB IV
PERKAWINAN

(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, Tetapi berlaku Bagi Golongan Tionghoa)
Ketentuan Umum
Pasal 26
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.
BAGIAN 1
Syarat-Syarat dan Segala Sesuatu yang Harus diPenuhi untuk Dapat  Melakukan Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing, Tetapi Berlaku bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 27
Pada waktu yang sama, seorang lelaki hanya boleh terikat perkawinan dengan satu orang perempuan saja; dan seorang perempuan hanya dengan satu orang lelaki saja.
Pasal 28
Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dan calon suami dan calon istri.
BAGIAN 2
Acara yang Harus Mendahului Perkawinan
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing, Bukan Tionghoa. Dan bagi Golongan Tionghoa)
Pasal 50
Semua orang yang hendak melangsungkan perkawinan, harus memberitahukan hal itu kepada pegawai catatan sipil di tempat tinggal salah satu pihak.
Pasal 51
Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik secara langsung, maupun dengan surat yang dengan cukup jelas memperlihatkan niat kedua calon suami istri, dan tentang pemberitahuan itu harus dibuat sebuah akta oleh pegawai catatan sipil.
Bagian 5
Perkawinan-perkawinan yang dilaksanakan d Luar Negeri
(Tidak Berlaku Bagi Golongan Timur Asing Bukan Tionghoa, tetapi Berlaku bagi golongan Tionghoa)
Pasal 83
Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, baik antara sesame warga Negara Indonesia, maupun antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara lain, adalah sah apabila perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang biasa di Negara tempat berlangsungnya perkawinan itu, dan suami istri yang warga Negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut dalam bagian 1 bab itu.
▪Untuk siapa diberlakukan KUHPerdata Buku I?
Kalo aku untuk semua yang dalam teritorial wilayah indonesia baik yang warga asing tunduk kpd BW indonesia dan semua waga indonesia
Apapun statusnya, yang jelas KUH Perdata berasal dari era pemerintahan Belanda. Berdasarkan aturan peralihan UUD, berlaku bagi sebagian penduduk yaitu mereka yang termasuk golongan Eropa, mereka yang termasuk golongan Tionghoa, dengan beberapa kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara Tahun 1917 No. 129; dan mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain Tionghoa, dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam Lembaran Negara Tahun 1924 No. 556
Artinya, kalaupun golongan Tionghoa tunduk kepada BW, tidak semua aturan BW berlaku kepada mereka. Misalnya, aturan tentang upacara yang mendahului pernikahan dan ‘penahanan' pernikahan pada Bagian 1 dan Bagian 2 Titel IV Buku I.
Dalam perkembangannya, ada hukum kolonial yang diberlakukan khusus kepada kelompok tertentu. Bagi warga Indonesia asli pun hukum perdatanya bisa berbeda-beda. Tentu saja, ada peraturan yang berlaku bagi semua warga negara tanpa kecuali, seperti Undang-Undang Hak Pengarang (Auteurswet Tahun 1912).
 Mahkamah Agung sendiri menganggap sebagian pasal dari BW tidak berlaku. Sekadar contoh pasal 108 dan 110 tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suami. Contoh lain, pasal 284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli.

Kesimpulan

Lewat waktu yg sudah mulai berjalan sebelum kitab undang-undang hukum perdata ini di undangkan, harus di atur menurut undang-undang yang pada saat itu berlaku di Indonesia. Namun lewat waktu demikian yang menurut perundang-undangan lama masih membutuhkan waktu selama masih lebih dr tiga puluh tahun, terhitung sejak kitab undang-undang hukum perdata ini di undangkan,  dalam Kuhperdata buku 1 sejarah asal mula sejarah kuhperdata. Dari masa pemerintahan Yulius Caesar berkuasa di Eropa barat sampai kuhperdata yg berlaku di Indonesia.. yang dalam poin-poin kuhperdata buku 1 membahas tentang proses perkawinan dan keluarga.. yang sudah tercantum atau di legalkan oleh kuhperdata ini

Artikel lainnya: JENIS-JENIS PIDANA 

DAFTAR PUSTAKA

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. XXVII, (Jakarta: Intermasa, 1995)
https://bedoyo.weebly.com/ringkasan-hukum-perdata.html
Kitab undang-undang hukum perdata