Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

KEUANGAN NEGARA PERSPEKTIF FIQH SIYASAH


Sebelum memahami tentang bagaimana keuangan Negara islam dalam prespektif Fiqih Siyasah, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian Fiqih Siyasaah maliyah yang berarti politik ekonomi islam dalam bahasa Indonesia. Secara akademik, kajian politik ekonomi dalam Islam merupakan pengembangan dari hukum Islam dalam bidang kebijakan pengelolaan kekayaan Negara (Ath Tasarruf). Istilah yang lain yaitu Intervensi Negara (Tadakhul ad Daulah) yang dikembangkan oleh Muhammad Baqir Ash shadr. Yang beliau maksudkan yaitu negara mengintervensi aktivitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum Islam yang terkait dengan aktivitas ekonomi masyarakat secara lengkap.
Dalam hal ini perlu mengkaji tentang darimana dan apa saja sumber hukum dari fiqih siyasah maliyah, kemudian beberapa ruang lingkup yang perlu di ketahui di dalam nya mengingat begitu pentingnya hukum di Indonesia karena dapat diketahui Indonesia sendiri juga merupakan Negara konstitusi.

Artikel lainnya: PEMILU DAN PARTAI POLITIK PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH

Rumusan Masalah

  • Bagaimana pengertian siyasah maliyah ?
  • Apa saja sumber hukum fikih siyasah maliyah ?
  • Apa saja ruang lingkup fiqih siyasah maliyah ?
  • Bagaimana konsepsi kebijakan pengeluaran keuangan Negara islam ? 

Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, dapat ditarik tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:

  • Mendiskripsikan pengertian siyasah maliah.
  • Mendiskripsikan sumber hukum fiqih siyasah maliyah
  • Menjelaskan ruang lingkup fiqih siyasah maliyah
  • Menjelaskan bagaimana kebijakan pengeluaran keuangan Negara islam

PEMBAHASAN

Pengertian Fiqih Siyasah

Fiqih siyasah Maliyah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, mempunyai makna Politik Ekonomi Islam. Politik Ekonomi Islam adalah kebijakan hukum yang dibuat oleh suatu pemerintahan menyangkut pembangunan ekonomi untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan menjadikan nilai-nilai Syariat Islam sebagai ukurannya. Kebijakan tersebut merupakan hukum yang mengatur hubungan negara dengan masyarakat, individu dengan masyarakat, individu dengan individu dalam aktivitas ekonomi.
Secara akademik, kajian politik ekonomi dalam Islam merupakan pengembangan dari hukum Islam dalam bidang kebijakan pengelolaan kekayaan Negara (Ath Tasarruf). Istilah yang lain yaitu Intervensi Negara (Tadakhul ad Daulah) yang dikembangkan oleh Muhammad Baqir Ash shadr. Yang beliau maksudkan yaitu negara mengintervensi aktivitas ekonomi untuk menjamin adaptasi hukum Islam yang terkait dengan aktivitas ekonomi masyarakat secara lengkap.

Kewenangan negara mengintervensi aktivitas ekonomi masyarakat merupakan asas fundamental dalam sistem ekonomi Islam. Intervensi ini tidak hanya mengadaptasi hukum Islam yang telah ada, akan tetapi mengisi kekosongan hukum yang berkaitan dengan Ekonomi. Dalam hal ini Masyarakat melaksanakan hukum yang sudah ada, sedangkan negara mengisi celah celah hukum dengan membuat kebijakan baru bagi masyarakat terkait tentang ekonomi.Kebijakan yang dibuat oleh Negara hendaknya sesuai dengan kondisi, dinamis, baik pada tataran praktis maupun teoritis, sehingga menjamin tercapainya tujuan-tujuan umum sistem aktivitas ekonomi Islam.

Pengaturan Fiqih Siyasah Maliyah berorientasi untuk kemaslahatan Rakyat, jadi ada tiga faktor yaitu Rakyat, harta dan Negara. Di dalam rakyat ada dua kelompok besar yaitu Si Kaya dan Si Miskin, Di dalam Fiqh Siyasah Maliyah ini, Negara melahirkan kebijakan-kebijakan untuk mengharmonisasikan hubungan si kaya dan si miskin, agar Kesenjangan tidak melebar.
Oleh karena itu, dalam Fiqh Siyasah Maliyah orang kaya disentuh hatinya untuk bersikap dermawan dan orang miskin diharapkan selalu berusaha, berdo’a dan bersabar, sedangkan Negara Mengelola zakat, Infaq, waqaf, sedeqah, Usyur dan Kharaj untuk kemaslahatan rakyat.
Seperti di dalam fiqh siyasah dusturiyah dan fiqh siyasahdauliyah, di dalam fiqh siyasah maliyah pun pengaturannya diorientasikan untuk kemaslahatan rakyat. Oleh karena itu, di dalam siyasah maliyah ada hubungan diantara tiga faktor, yaitu: rakyat, harta, dan pemerintah atau kekuasaan.

Dikalangan rakyat ada dua kelompok besar dalam suatu atau beberapa Negara yang harus bekerjasama dan saling membantu antar orang kaya dan orang miskin.Di dalam siyasah maliyah dibicarakan bagaimana cara-cara kebijakan yang harus diambil untuk mengharmonisasikan dua kelompok ini, agar kesenjangan antara orang kaya dan miskin tidak semakin lebar.
Produksi, distribusi, dan komsumsi dilandasi oleh aspekaspek keimanan dan moral, serta dijabarkan dalam aturan-aturan hukum, agar ada keadilan dan kepastian.Adalah benar pernyataan bahwa “hukum tanpa moral dapat jatuh kepada kezaliman, dan moral tanpa hukum dapat menimbulkan ketidakpastian.
Oleh karena itu, di dalam fiqh siyasah orang-orang kaya disentuh hatinya untuk mampu bersikap selalu sabar (ulet), berusaha, dan berdoa mengharap karunia Allah. Kemudian, sebagai wujud dari kebijakan, di atur di dalam bentuk, zakat, dan infak, yang hukumnya wajib atau juga di dalam bentuk-bentuk lain seperti wakaf, sedekah, dan penetapan ulil amri yang tidak bertentangan dengan nash syari’ah, seperti bea cukai (usyur) dan kharaj.
Isyarat-isyarat Al-Quran dan Al-Hadits Nabi menunjukkan bahwa agama Islam memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada orang fakir dan miskin dan kaum mustad’afiin (lemah) pada umumnya, kepedulian inilahyang harus menjiwai kebijakan penguasa (ulil amri) agar rakyatnya terbebas dari kemiskinan.
Orang-orang kaya yang telah mengeluarkan sebagian kecil dari hartanya yang menjadi hak para fakir dan miskin harus dilindungi, bahkan didoakan agar hartanya mendapat keberkahan dari Allah SWT. Sudah tentu bentuk-bentuk perlindungan terhadap orang kaya yang taat ini akan banyak sekali seperti dilindungi hak miliknya, dan hak-hak kemanusiannya.

Sumber Hukum Fikih Siyasah Maliyah
Al-qur'an.

Secara etimologi al-quran adalah bentuk masdhar dari kata قرأse-wazan dengan kata fu’lan yang artinya bacaan, berbicara tentang apa yang ditulis padanya, atau melihat dan menelaah. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-qiyamah ayat 17 :
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ
”sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkanya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya, maka ikutlah bacanya itu.”
Kata qur’an digunakan dalam arti sebagai ma,a kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk keseluruhannya apa yang dimaksud qur’an. Menurut Al-amidi Al-Kitab adalah Alquran yang diturunkan.
Alquran sebagai sumber hukum fikih bahwa hukum syara’ adalah kehendak allah tengtang tingkah laku manusia, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum adallah Allah SWT. Maka ketentuanya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang di sebut alquran dengan demikian di tetapkan bahwa alquran sebagai sumber hukum islam yang utama. Kedudukan alquran itu sebagaisumber utama dan pertama bagi penetapan hukum, bila seseorang iningin menemukan hukum untuk suatu kejadian, tindakan pertama yang harus ia lakukan adalah mencari jawaban penyelesaian di dalam alquran. Jika menggunakan sumber hukum selain dari alquran harus sesuai dengan petunjuk dari alquran tidak boleh memlakukan sesuatu yang bertentangan dengan alquran.
Dan darisini bisa mengambil sumber hukum selain alquran tetapi tidak boleh menyalahi yang diterapkan di dalam alquran. Kebijakan alquran dalam menetapakan hukum mengunakan prinsip – prinsip sebagai beriku :

  • Memberikan kemudahan dan tidak menyulitkan 
  • Menyedikitkan tuntunan 
  • Bertahap dalam menerapkan hukum 
  • Sejalan dengan kemaslahatn manusia

Dalam fikih siyasah maliyah alquran sebagai sumber hukum.Dimana dalam menyelesaikan masalah tentang keuangan Negara dan pendapat Negara. Berikut adalah beberapa contoh sumber hukum fikih siyasah maliyah dalam alquran surat Al-hasyr : 11.

  • أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ نَافَقُوا۟ يَقُولُونَ لِإِخْوَٰنِهِمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَٰذِبُونَ

 “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orangorang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Dan juga menyebutkan pada surat Luqman :20
أَلَمْ تَرَوْا۟ أَنَّ ٱللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِى ٱللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَٰبٍ مُّنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerang”.

Artikel lainnya: PEMBAGIAN NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN PERFEKTIF HUKUM TATA NEGARA

Hadist

Kata Hadist atau al-hadist menurut bahasa, berarti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata hadist juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang lain. Kata jamak al-ahadist.Dari sudut pendekatan kebahasaan ini, kata hadist dipergunakan baik dalam alquran maupun hadist itu sendiri.Kemudian pada hadist dapat dilihat pada beberapa sabda Rasullah SAW.Secara terminologis ahli hadist dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tentang hadist.Di kalangan ulama hadist sendiri ada beberapa defenisi salah satu dengan lainya sedikit berbeda. Ada yang mendefenisikan :
“Segala perkataan Nabi saw, perbuatan, dan hal ihwalnya”.
Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunnitapi juga di kalangan Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah. Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa jaminan teologis. Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat yang secara tegas memerintahkan umat islam untuk taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

Pada prinsipnya hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap alQur’an.Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai ragam ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh ulama yang satu berbeda dengan ulama lainnya. Akan jelas bahwa apa yang ditetapkan oleh hadis itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung oleh al-Qur'an secara terbatas. Pada dasarya hadis Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam al-Qur'an dengan segala bentuknya sebagaimana dijelaskan diatas.Allah menetapkan hukum dalam alQur'an adalah untuk diamalkan.Karena dalam pengamalan itulah terletak tujuan yang disyari'atkan. Tetapi pengamalan hukum Allah itu dalam bentuk tertentu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberi penjelasan oleh Nabi.
Dan fikih siyasah maliyahini sumber hukum dari hadist yang bersakutan dengan pengelolaan keuangan, pendapatan Negara dan pengeluaran Negara yang sesuai. Beberapa contoh hadist yang bersangkutan dengan fiqih siyasah mliyah sebagai berikut : ‚
“Orang yang bekerja untuk orang yang lemah dan orang orang miskin alah seperti orang yang jihad di jalan Allah, shalat dan puasa sepanjang masa.” (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
“siapa yang mengambil sebagian harta orang muslim tanpa haknya, dia menemui Allah Azza Wa Jalla yang dalam keadaan marah kepadanya.”(Hadist Riwayat Ahmad).
Dari bahwa kaitan antara hadis dan fikih siyasah maliyah adalah bagian yang integral dan tidak bisa dipisahkan antara satu dan yang lain. Keduanya bagaikan dua sisi pada uang yang sama. Hal itu disebabkan karena fikih siyasah dapat dikatakan sebagai suatu ilmu yang lahir dari hasil pemahaman terhadap hadis Nabi Saw..

RUANG LINGKUP FIQH SIYASAH MALIYAH

Fiqih Siyasah Maliyah mempunyai dua bidang kajian, yaitu:

  • kajian tentang kebijakan pengelolaan sistem keuangan, dan 
  • kajian tentang Pengelolaan sumber daya Alam.

Dalam aktivitas ekonomi, terdapat hubungan manusia dengan kekayaan alam, yaitu cara manusia mengeksploitasi dan mengendalikannya dan hubungan antar sesama manusia yang tergambar dalam pembagian hak dan kewajiban. Hubungan manusia dengan kekayaan alam, tidak terkait, apakah seorang hidup dalam komunitas atau tidak.Hubungan manusia dengan kekayaan alam terkait dengan pengalaman dan pengetahuannya.Ia menggali saluran air, menggarap tanah dan menambang mineral yang ia kuasai.
Sementara itu, hubungan antar sesama yang menyangkut hak dan kewajiban bergantung pada keberadaan individu di masyarakat. Jika tidak berada dalam suatu komunitas, seseorang individu tidak akan memiliki hak dan kewajiban. Hak seorang individu untuk mengeksploitasi tanah mati yang ia garap, larangan mengambil keuntungan seperti bunga dan kewajiban seorang pemilik sumur agar berbegai air dengan orang lain, jika ia memiliki surplus air. Hubungan manusia dengan alam berubah seiring waktu, dipengaruhi oleh berbagai masalah yang timbul dan berbagai temuan alat alat eksploitasi.
Semakin sering terjadi perubahan dalam hubungan manusia dengan kekayaan alam, semakin sering pula peningkatan kendali dan pengetahuan manusia terhadap alam.Sementara itu, hubungan manusia dengan manusia bersifat tetap dan statis. Sesorang yang memperoleh kendali atas sumbersumber kekayaan alam selalu dihadapkan pada masalah keadilan distribusi kepada individu lain. Oleh sebab itu hukum islam memandang bahwa aturan aturan yang mengatur hubungan antar manusia harus bersifat permanen dan berkesinambungan, menyangkut karakterhubungannya yang bersifat tetap. Contohnya Islam memberikan hak yang luas kepada penggali sumur.

  • Hak milik
  • Zakat
  • Al-Kharaj
  • Harta peninggalan dari orang yang tidak meninggalkan ahli waris
  • Jizyah
  • Ghanimah dan fay’
  • Bea cukai barang impor
  • Harta wakaf
  • Penetapan ulil amri yang tidak bertentangan dengan nash syara’
  • Prospek pemberdayaan ekonomi umat

KEBIJAKAN PENGELUARAN KEUANGAN NEGARA ISLAM

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam mengatur setiap pendapatan dan pengeluaran negara yang dikeluarkan untuk mejaga stabilitas ekonomi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi.
Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengaturdan mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah. Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama Islam adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.
Kebijakan fiskal menurut ekonomi Islam, diharapkan melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam suatu negara yang mempunyai ciri khas tertentu dari nilai orientasi, dimensi etik, dan sosial dalam pendapatan dan pengeluaran negara islam.
Adapun ciri-ciri kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi islam adalah:

  • Pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan sehingga jarang terjadi defisit anggaran.
  • Sistem pajak proposional, pajak dalam ekonomi Islam dibebankan berdasarkan tingkat produktifitas.misalnya kharaj, besarnya pajak ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi, maupun jenis tanaman. 
  • Perhitungan zakat berdasarkan hasil keuntungan bukan pada jumlah barang. Misalnya, zakat perdagangan, yang dikeluarkan zakatnya adalah hasil keuntungan, sehingga tidak ada pembebanan terhadap biaya produksi.

Kaidah Belanja Negara Islam

Menurut Gusfahmi, pengeluaran negara memiliki prinsip yang harus ditaati oleh Ulil Amri, yakni sebagai berikut:
Tujuan penggunaan pengeluaran kekayaan negara telah ditetapkan langsung oleh Allah Swt.
Artinya : “Sesungguhnya sedekah (zakat) itu hanyalahuntuk orang-orang fakir, orang miskin, amilzakat, yang dilunakkan hatinya (mu’allaf),untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk(membebaskan) orang yang berhutang, untukjalan Allah dan untuk orang yang sedangdalam perjalanan, sebagai kewajiban dariAllah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”(Q.S At-Taubah : 60)
Pada ayat tersebut Allah Swt langsung menentukan tujuan penggunaan dari pendapatan zakat, yaitu asnaf yang delapan. Demikian pula misalnya dengan ghanimah, hanya ditujukan untuk lima kelompok dalam ayat tersebut.
Artinya : “Ketahuilah, sesungguhnya apa saya yangdapat kamu peroleh sebagai rampasanperang, maka sesungguhnya seperlimauntuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin danibnussabil, jika kamu beriman kepadaAllah dan kepada apa yang Kami turunkankepada hamba Kami (Muhammad) di hariFurqaan, yaitu di hari bertemunya duapasukan. Dan Allah Maha Kuasa atassegala sesuatu.”(Q.S Al-Anfaal : 41).

Apabila ada kewajiban tambahan, maka harus digunakan untuk tujuan semula kenapa ia dipungut. Kebutuhan secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
kebutuhan negara dan
kebutuhan individu.
Kebutuhan negara adalah kebutuhan yang pengadaannya difardukan kepada negara (Baitul Mal), dimana negara wajib mengadakannya melalui sumber-sumber pendapatan tetap, seperti: Shadaqah, Ghanimah, dan Fai. Pendapatan ini digunakan untuk kepentingan negara dan hal-hal yang menjadi tanggungan negara, seperti mengadakan keamanan, kesehatan dan pendidikan.Sedangkan kebutuhan individu adalah kebutuhan yang pengadaannya difardukan kepada kaum muslimin.
Dalam keadaan darurat dan terjadi kekosongan /kekurangan Baitul Mal, khalifah berhak untuk mengambil harta individu, untuk memenuhi kebutuhankebutuhan mereka sendiri (kaum muslim) seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan, yang tidak terpenuhi oleh kas negara, lalu dipungutlah pajak (dharibah). Uang pajak itu harus digunakan untuk kepentingan kaum musliminn itu sendiri, misalnya: membuat jalan raya, sekolah-sekolah, menggaji aparat keamanan dan lain-lain.
Adanya pemisahan antara pengeluaran yang wajib diadakan disaat ada atau tidaknya harta dan pengeluaran yang wajib diadakan hanya di saat adanya harta. Menurut Nabhani, tidak semua jenis pengeluaran harus diadakan, melainkan tergantung sifat masing-masing pengeluaran itu. Ada pengeluaran yang wajib diadakan, walaupun tidak ada dana yang tersedia di Baitul Mal, sehingga Khalifah harus meminjam atau memungut pajak. Sebaliknya, ada pengeluaran yang hanya diadakan bila diadakan bila dana itu ada, seperti zakat.

Berikut contoh-contoh pengeluaran yang dimaksud:
Pengeluaran zakat hanya di saat adanya harta zakat. Zakat dalam Baitul Mal berada di tempat tersendiri, terpisah dengan mata anggaran ain.Ia adalah hak orang tertentu yang akan dibelanjakan hanya terhadap mereka, berdasarkan ada dan tidak adanya.
Pengeluaran untuk mengatasi kemiskinan dan mendanai jihad adalah di saat ada maupun tidak adanya harta. Baitul Mal adalah pihak yang wajib menangani kekurangan atas fakir miskin, ibnu sabil atau untuk mendanai jihad. Pembelanjaan (pengeluaran) seperti ini tidak ditentukan berdasarkan ada atau tidak adanya harta, melainkan sebagai hak yang bersifat paten (harus disediakan), baik di saat ada ataupun tidak di Baitul Mal. Apabila harta ada, maka seketika wajib dikeluarkan. Bila tidak ada harta, lalu dikhawatirkan akan terjadi kerusakan karena pembelanjaannya ditangguhkan, maka negara bisa (harus) meminjam, untuk di salurkan seketika itu juga, berapapun hasil pengumpulanya dari kaum muslimin.
Pengeluaran untuk kompensasi, harus dibayar di saat ada maupun tidak adanya harta. Pengeluaran ini adalah biaya yang harus dibayar negara untuk kompensasi atau hak orang-orang yang memberikan jasanya, lalu mereka meminta harta sebagai upah atas jasanya.
Pembelanjaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan , bukan untuk kompensasi adalah di saat ada maupun tidak adanya harta. Pembelanjaan kelompok ini diberikan untuk barang, bukan sebagai nilai pengganti harta-harta yang telah dihasilkan. Contohnya: jalan raya, air, bangunan mesjid, sekolah, rumah sakit, dan masalah lainnya yang adanya dianggap vital dimana umatakan mengalami penderitaan.
Pembelanjaan karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai kompensasi. Contohnya adalah pembuatan jalan baru, ketika jalan lain sudah ada, membuka rumah sakit baru yang sebenarnya sudah cukup dengan rumah sakit yang ada, dan sebagainya. Hak untuk mendapatkan pembelanjaan ini ditentukan berdasarkan adanya harta, bukan pada saat tidak ada.
Pembelanjaan karena adanya unsur keterpaksaan (darurat) semisal ada peristiwa yang menimpa kaum muslimin seperti : paceklik, angin taufan, gempa bumi, atau serangan musuh. Apabila harta tersebut ada, maka wajib disalurkan seketika itu juga. Apabila harta itu tidak ada, maka kewajiban dipikul oleh kaum muslimin seketika itu juga. Kemudian harta itu diletakan di Baitul Mal untuk disalurkan kepada yang berhak.
Penegeluaran harus hemat. Pengeluaran haruslah ditujukan untuk hal-hal yang jelas bermanfaat dan hema, tidak boros dan islam mengutuk pemborosan. Penimbunan juga dikutuk karena dengan penimbunan itu, kekayaan tidak dapat beredar dan manfaat pengunaannya tidak dapat dinikmati si pemakai dan masyarakat.
Kebijakan Pengeluaran Negara Islam
Masa periode awal pemerintah islam. Dasar penyusunan anggaran pada masa ini adalah berapa penghasilan yang diterimalah yang menentukan jumlah yang tersedia untuk dibelanjakan. Kecuali dalamkeadaan darurat karena perang atau bencana alam lainnya, untuk ini dikenakan pungutan khusus atau sumbangan. Kebijakan anggaran ini tidak berorientasikan pertumbuhan karena ketika itu tidak terdapat seruan untuk pertumbuhan ekonomi dalam arti modern. Jadi dapat disimpulkan, konsep anggaran berimbang atau surpluslah yang merupakan praktik yang berlaku di masa Islam periode awal. Karena kebutuhan negara masih sederhana, maka pendapatan negara dari zakat dan infaq sudah memenuhi kebutuhan.
Masa periode modern pemerintah islam. Pada Pemerintahan Islam periode modern, terjadi perubahan yaitu, mulai memakai anggaran defisit dan meninggalkan kebijaksanaan anggaran berimbang, yang dianggap tidak berorientasi pada pertumbuhan. Ada tiga ekonom islam yang sama-sama setuju dengan konsep anggaran defisit, yaitu:
Menurut Mannan, sebuah negara islam modern harus harus menerima konsep anggaran modern (sistem anggaran defisit) dengan perbedaan pokok adalah dalam hal penanganan defisit (kekurangan) anggaran itu. Negara islam dewasa ini harus mulai dengan pengeluaran yang mutlak diperlukan (sesuai yang direncanakan dalam APBN) dan mencari jalan serta cara-cara baru untuk mencapainya, baik dengan merasionalisasi struktur pajak atau dengan mengambil kredit (utang) dari sistem perbankan dalam negeri atau dari luar negeri (Bank Dunia, IMF, ADB dll)
Pemilihan konsep anggaran defisit ini tentunya akan memerlukan tambahan dengan cara meminjam. Untuk itu terdapat tiga sumber pinjaman tradisional bagi kebanyakan negeri islam, yaitu: bank sentral, bank umum, dan masyarakat (obligasi).
Namun, utang harus dibuat tanpa adanya tekanan dari pihak pemberi utang (kreditor) yang akan dapat mengakibatkan hilangnya kebebasan, kehormatan dan kedaulatan negara muslim. Kemudian, yang tak kalah pentingnya adalah, utang itu harus tanpa bunga (riba), yang akan memberatkan pihak yang berutang (debitur).
Menurut Umer Chapra juga setuju dengan anggaran pembelanjaan defisit, namun dengan solusi yang berbeda dengan Mannan. Chapra berpendapat bahwa negara-negara muslim harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negara, bukan dengan jalan pintas melalui ekspansi moneter dan meminjam. Chapra lebih setuju dengan meningkatkan pajak, karena pinjaman akan membawa kepada riba. Dan pinjaman itu juga meniadakan keharusan berkorban, namun hanay menangguhkan beban sementara waktu dan akan membebanai generasi yang akan datang dengan beban yang berat yang tidak semestinya mereka pikul.
Menurut Zallum, ia setuju dengan anggaran defisit, dengan solusi yang hampir sama dengan Chapra, yaitu defisit diatasi dengan penguasaan BUMN dan Pajak. Zallum mengatakan bahwa:
Anggaran belanja negara pada saat ini sangat beratdan besar, setelah meluasnya tanggung jawab danbertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi.Pendapatan Baitul Mal dari sumber-sumber (tradisional) seperti fay’i, jizyah, kharaj, ‘ushr, dan khumus.Kadangkala tidak memadai untuk menutupi pengeluaran negara yang semakin berkembang. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak. Kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslim pada saar Baitul Mal kosong. bertambahnya perkara-perkara yang harus disubsidi. Pendapatan Baitul Mal dari sumber-sumber (tradisional) seperti fay’i, jizyah, kharaj, ‘ushr, dan khumus.Kadangkala tidak memadai untuk menutupi pengeluaran negara yang semakin berkembang. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cara lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan Baitul Mal, baik dalam kondisi ada harta maupun tidak. Kewajiban tersebut berpindah kepada kaum Muslim pada saar Baitul Mal kosong.

Kesimpulan

Fiqih siyasah Maliyah jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, mempunyai makna Politik Ekonomi Islam. Politik Ekonomi Islam adalah kebijakan hukum yang dibuat oleh suatu pemerintahan menyangkut pembangunan ekonomi untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat dengan menjadikan nilai-nilai Syariat Islam sebagai ukurannya. Kebijakan tersebut merupakan hukum yang mengatur hubungan negara dengan masyarakat, individu dengan masyarakat, individu dengan individu dalam aktivitas ekonomi. Sumber hukum fiqih siyasah amaliah dibagi 2, yaitu alquran dan hadits.
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan pemerintah dalam mengatur setiap pendapatan dan pengeluaran negara yang dikeluarkan untuk mejaga stabilitas ekonomi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengaturdan mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi melalui insentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah. Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama Islam adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan. Kebijakan fiskal menurut ekonomi Islam, diharapkan melaksanakan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam suatu negara yang mempunyai ciri khas tertentu dari nilai orientasi, dimensi etik, dan sosial dalam pendapatan dan pengeluaran negara islam.

Artikel lainnya: DINAMIKA POLITIK ISLAM DI INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA

Andri Nirwana,"AN FIQH SIYASAH MALIYAH (KEUANGAN PUBLIK ISLAM) SEARFIQH" Banda Aceh, 2017.
Mohammad Al Jose Sidmag, "FIKIH SIYASAH MALIYAH TERHADAP PENGELOLAANDANA DESA UNTUK KESEJAHTERAAN UMUM MASYARAKAT DIDESA BULUGEDEG KECAMATAN BENDO KABUPATEN MAGETAN".